A.
Latar Belakang Masalah
Dunia pendidikan sekarang ini dihadapkan pada tantangan-tantangan yang
mengharuskannya mampu melahirkan individu-individu yang dapat memenuhi tuntutan
global,sebab pendidikan merupakan
lembaga yang berusaha untuk membangun masyarakat dan watak bangsa secara
berkesinambungan yaitu membina mental, dan kepribadian dalam rangka membentuk
manusia seutuhnya. Pendidikan tersebut bisa didapat baik dari pendidikan
non formal maupun pendidikan formal. Pendidikan non formal bisa didapat melalui
kegiatan non formal seperti les privat maupun pendidikan yang lain diluar sekolah. Sedangkan pendidikan formal bisa
didapat disekolah mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP),
Sekolah Menengah Atas (SMA), maupun perguruan tinggi(PT). Di Sekolah Pelajaran matematika
merupakan mata pelajaran wajib bagi semua siswa. Dalam pengajaran matematika
diharapkan anak dapat berpikir sendiri untuk menyelesaikan persoalan baru,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Nasution bahwa ”anak-anak harus belajar berpikir
sendiri untuk menghadapi berbagai persoalan baru, jangan hanya disuruh
menghafal jawaban atau pertanyaan.”[1]
Pendidikan dalam era modern semakin tergantung tingkat kualitas,partisipasi
dari guru untuk menggunakan berbagai sumber yang tersedia, mengatasi
permasalahan yang dihadapi siswa untuk mempersiapkan pembelajaran yang dapat
menumbuhkan cara berpikir siswa menjadi lebih kritis dan kreatif.
Untuk menumbuhkan sikap aktif, kreatif dan inovatif dari siswa tidaklah
mudah. Fakta yang terjadi adalah guru dianggap sumber belajar yang paling
benar. Proses pembelajaran yang terjadi memposisikan siswa sebagai pendengar
ceramah guru. Akibatnya proses belajar mengajar cenderung membosankan dan
menjadikan siswa malas belajar.
Kemajuan ilmu pengetahuan akan mempengaruhi cara belajar yang efektif,
sehingga perlu adanya cara berpikir secara terarah dan jelas. Dengan banyaknya
permasalahan-permasalahan yang muncul, perlu adanya pembaharuan-pembaharuan di
lingkungan pendidikan yang mengarahkan pembelajar agar dapat selalu berpikir
kritis. Banyak yang beranggapan bahwa untuk dapat berpikir kritis memerlukan
suatu tingkat kecerdasan yang tinggi. Padahal berpikir kritis dapat dilatih
pada semua orang untuk dipelajari. Disinilah peranan pendidikan memberikan
suatu konsep cara belajar yang efektif.
Dalam interaksi pendidikan peserta didik tidak harus diberi atau dilatih,
tetapi mereka dapat mencari, menemukan, memecahkan masalah-masalah dan melatih dirinya. Siswa dilatih
berperan aktif dan bertanggung jawab terhadap proses dan hasil pembelajaran.
Agar proses pembelajaran dapat terlaksana dan berjalan secara efektif,
disinilah peranan cara berpikir kritis.Kegiatan pembelajaran matematika
diharapkan mampu membuat siswa terampil dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapinya, baik dalam bidang matematika maupun dalam bidang lain yang
terkait. Kegiatan pembelajaran matematika diharapkan mampu membuat siswa
berkembang daya nalarnya sehingga mampu berpikir kritis, logis, sistematis, dan
pada akhirnya siswa diharapkan mampu bersikap obyektif, jujur dan disiplin.
Kegiatan tersebut bertolak belakang dengan apa yang terjadi di kelas VII
SMP 8 Lhokseumawe. berikut adalah salah satu contoh soal berpikir kritis yang
telah diselesaikan oleh salah seorang siswa SMP 8 Lhokseumawe kelas VII:
Dari
sekelompok anak, terdapat 25 anak hobi mengendarai sepeda, 20 anak hobi
mengendarai motor, dan 11 anak hobi keduanya. Jumlah anak dalam kelompok
tersebut adalah
Peneyelesaiakan:
- Bagaimana cara menghitung jumlah anak dalam kelompok tersebut?
-
Dengan
cara menjumlahkan kelompok anak yang hobi mengenderai sepeda dengan kelompok
anak yang hobi mengenderai motor .
- Hitunglah jumlah anak dalam kelompok?
-
25 + 20
= 45
- Tentukan hasil akhir jumlah anak dalam kelompok?
-
45
Dari hasil tersebut, terlihat jelas bahwa kemampuan siswa tersebut dalam
menyelesaikan soal berpikir kritis masih kurang. Ini dapat dilihat pada poin
(b) yaitu kurangnya kemampuan siswa dalam menentukan jawaban rasional, siswa
menjumlahkan kelompok anak yang
hobi mengenderai sepeda dengan kelompok anak yang hobi mengenderai motor, seharusnya siswa mengurangkan jumlah siswa
yang mengenderai sepeda dengan hobi keduanya dan mengurangakan anak yang hobi
motor dengan hobi keduanya dan kemudian menjumlahkan hasil pengurangan jumlah
siswa yang mengenderai sepeda dengan hobi keduanya dan jumlah siswa yang
mengenderai motor dengan hobi keduanya dan menjumlahkan siswa yang hobi
keduanya. Oleh karena itu, hasil evaluasi akhir pada poin (c) keliru. Jawaban
yang benar adalah 34 tetapi yang didapatkan oleh siswa adalah 45.
Kondisi ini menyebabkan kurangnya kemampuan berpikir kritis siswa. Untuk
mengatasi masalah tersebut, dibutuhkan pembelajaran matematika yang
melibatkan kegiatan siswa dengan memakai konteks dunia nyata sebagai sumber
pengembangan konsep dan sebagai wahana aplikasi melalui proses matematisasi
vertikal maupun horisontal. Dalam matematisasi horizontal siswa menggunakan
matematika sehingga dapat membantu mareka mengornisasi dan menyelesaikan suatu
masalah yang ada pada situasi nyata. Contohnya: pengidenfikasian, perumusan,
dan pemvisualisasian masalah masalah dengan cara yang berbeda-beda,
pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematika. Sedangkan matematisasi
vertikal merupakan proses pengorganisasian kembali dengan dengan menggunakan
matematika itu sendiri. Contohnya, penyesuaian model matematika, penggunaan
model-model yang berbeda, perumusan model matematika dan pengeneralisasian. Untuk
mewujudkan itu semua harus diawali harus diawali dari pemilihan metode
pembelajaran yang tepat. Berkenaan dengan interaksi siswa di kelas, tidak
diabaikan PMR, tetapi merupakan bagian yang esensial dalam proses pembelajaran.
Selanjutnya tiga prisip kunci PMR, sebagai berikut: menemukakan kembali (guided reinvention), fenomena didaktik (didacticalphenemology) dan model
dibangun sendiri oleh siswa (self-devoloped
models).Untuk itulah peneliti mencoba
untuk menerapkan suatu pembelajaran dalam kegiatan proses belajar mengajar
yaitu Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) yang telah lama dikembangkan
di Belanda. Pembelajaran Matematika
Realistik (PMR) adalah salah satu
pemebalajaran dalam pembelajaran matematika yang mengajak siswa untuk menyukai
matematika dengan memperlihatkan kepada siswa cara mempelajari matematika,
melalui pengalaman langsung ke alam sekitar.[2] Freudental yang
mengatakan bahwa “matematika harus terkait dengan realita dan matematika
merupakan bagian dari aktivitas manusia”.[3] Menurut De Lange dan Ven
Den Neuvel Panhuizen ”Matematika Pembelajaran
Matematika Realistik (PMR) adalah pembelajaran matematika yang mengacu
pada konstruktivis sosial dan dikhususkan pada pendidikan matematika”.[4]
Peneliti
melihat bahwa pembelajaran Pembelajaran Matematika
Realistik (PMR) adalah Pembelajaran
yang sangat tepat diterapkan dalam proses belajar mengajar pada pelajaran
matematika guna untuk peningkatan
kemampuan berpikir kritis siswa, sehingga peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian yang berjudul “Penerapan Pembelajaran Matematika Realistik Terhadap peningkatan
Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas VII SMP Negeri 8 Lhokseumawe”
[1]S.Nasution, Azaz – azaz Kurikulum, (Jakarta: Bina
aksara,2003), hal.254
[2]Freudental ,Realistic
Mathemathic Education, (online), 2003, http//yowono.blogspot.com, diakses
03 November 2011
[3] Freudental dikitip dalam
Yowono,Realistic Mathemathic Education, (online), 2003,
http//yowono.blogspot.com, diakses 03 November 2011
[4] Da Lenge dan Ven Den
Neuvel Panhuizen dikitip dalam Yowono, Realistic Mathemathic Education,
(online), 2003, http//yowono.blogspot.com, diakses 03 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar