Senin, 26 September 2011

PENERAPAN PENDEKATAN METAKOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA KELAS V SD DALAM MEMODELKAN SOAL CERITA MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN PECAHAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Pada umumnya, soal-soal yang ada pada buku paket/pegangan siswa diberikan dimulai dari yang mudah (aspek ingatan), kemudian diikuti oleh soal-soal yang mengungkapkan kemampuan pemahaman. Setelah itu, diberikan soal-soal penerapan yang mengaitkan konsep-konsep yang dibahas dengan kehidupan sehari-hari yang biasanya disajikan dalam bentuk cerita atau lebih populer disebut dengan soal cerita. Karena matematika memiliki model pembahasan, baik dengan lambang maupun dengan gambar, diagram atau grafik, maka masalah kehidupan sehari-hari atau masalah keilmuan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa matematika. Selanjutnya, karena matematika memiliki operasi dan prosedur, maka model matematika itu dapat diolah untuk mencari pemecahan dari suatu masalah.
Dalam kurikulum 2004 mata pelajaran matematika untuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah disebutkan bahwa:
Matematika berfungsi untuk mengembangkan kemampuan bernalar melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, dan eksperimen, sebagai alat pemecahan masalah melalui pola pikir dan model matematika, serta sebagai alat komunikasi melalui simbol, tabel, grafik, diagram, dalam menjelaskan gagasan.
Tujuan pembelajaran matematika adalah melatih dan menumbuhkan cara berpikir secara sistematis, logis, kritis, kreatif dan konsisten. Serta mengembangkan sikap gigih dan percaya diri sesuai dalam menyelesaikan masalah.

Salah satu cara untuk melatih dan menumbuhkan cara berpikir secara sistematis, logis, kritis, kreatif dan konsisten adalah menyelesaikan soal cerita yang menyangkut masalah kehidupan sehari-hari melalui model matematika. Melalui soal cerita, maka siswa dilatih untuk mengembangkan pola pikirnya, mengembangkan sikap gigih, dan percaya diri untuk memenuhi tujuan pembelajaran matematika dalam kurikulum 2004.
Selain itu, Nurhadi (2004: 205) mengemukakan:
Kecakapan atau kemahiran matematika yang diharapkan dapat tercapai dalam belajar matematika mulai dari SD dan MI sampai SMA dan MA adalah sebagai berikut:
1. Menunjukkan pemahaman konsep matematika yang dipelajari, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah;
2. Memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, grafik atau diagram untuk memperjelas keadaan atau masalah;
3. Menggunakan penalaran pada pola, sifat atau melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika;
4. Menunjukkan kemampuan strategik dalam membuat (merumuskan), menafsirkan, dan menyelesaikan model matematika dalam pemecahan masalah;
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan.

Melalui soal cerita, kelima kecakapan atau kemahiran matematika di atas dapat dikembangkan. Karena soal cerita bermanfaat untuk mencapai fungsi, tujuan, dan kecakapan atau kemahiran matematika, maka pemberian soal cerita kepada siswa dalam proses pembelajaran matematika dianggap perlu. Untuk itulah, diperlukan suatu pendekatan pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita.
Namun, pada kenyataannya berbagai masalah ditemui dalam pembelajaran matematika. Salah satu contoh masalah dalam pembelajaran matematika tersebut yaitu apabila sebuah pertanyaan diajukan kepada siswa: “Apa bagian yang sulit dalam pelajaran matematika?” Mungkin sebagian besar siswa akan mengangguk setuju jika disebutkan salah satu bagian yang sulit adalah menyelesaikan masalah soal cerita matematika.
Rendahnya kemampuan memodelkan soal cerita terjadi pada siswa SD. Sebagian besar siswa dapat menyelesaikan soal tetapi tidak mampu menjelaskan jawaban yang mereka berikan. Sebagian besar siswa hanya mampu mengerjakan soal yang sudah diberikan contoh penyelesaian, siswa hanya mengikuti langkah-langkah yang diberikan guru pada contoh soal. Siswa tidak dapat menjelaskan alasan dari setiap langkah yang mereka kerjakan. Proses pembelajaran yang terjadi juga masih satu arah yaitu guru sebagai pusat pembelajaran. Para siswa masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal cerita. Mereka masih sulit memahami apa yang diketahui dan ditanya dari soal. Mereka hanya mengalikan atau membagi angka-angka yang ada dalam soal, tanpa tahu mengapa bisa dikalikan maupun dibagi.
Berdasarkan observasi lapangan dan wawancara dengan salah satu guru yang mengajar matematika di SD Negeri 060818 Medan, bahwa kesulitan siswa menyelesaikan soal cerita disebabkan kesulitan siswa dalam membuat pemodelan atau representasi matematika. Sebagai contoh, di saat siswa diminta menyelesaikan soal cerita mengenai operasi hitung menggunakan perbandingan. Jika diberikan soal sebagai berikut: Perbandingan manik-manik merah dan manik-manik biru pada kalung adalah 1 : 3. Jika banyak manik-manik merah 5, berapa banyak manik-manik biru? Tanpa berpikir panjang, kebanyakan siswa menyelesaikan soal tersebut dengan langsung mengurangkan banyak manik-manik merah dengan nilai perbandingan manik-manik biru, sehingga mereka menuliskan:
Manik-manik biru = manik-manik merah – nilai perbandingan manik-manik biru
= 5 – 3 = 2
Ini merupakan penyelesaian yang salah, karena mereka belum memahami soal tersebut. Jadi, masih dibutuhkan pemahaman yang lebih untuk menyelesaikan soal cerita. Agar dapat menyelesaikan soal cerita tersebut dengan benar, maka seharusnya siswa menerapkan lima langkah mudah dalam menyelesaikan soal cerita yang dimulai dengan membaca soal, pilih informasi penting, menentukan strategi yang tepat misalnya menggunakan perbandingan, menyelesaikan masalah, dan memeriksa jawaban.
Masalah dunia real dan model matematika yang menghadirkan kesulitan siswa yaitu transisi dari dunia real ke model matematika dan sebaliknya transisi solusi model ke dunia real. Kegagalan siswa dalam pemodelan dapat diakibatkan antara lain karena siswa tidak dapat mentransformasi masalah dunia real ke model matematika, tidak mengetahui konsep-konsep matematika yang mendasari ke arah pemodelan, tidak mampu menghubungkan data dengan kaedah-kaedah matematika sehingga ditemukan suatu bentuk model matematika, atau tidak mampu menyelesaikan model matematika yang ditemukan. Permasalahan lain yang dapat mengakibatkan siswa mengalami kesulitan memahami pemodelan matematika adalah lemahnya pemahaman siswa terhadap teknik dan strategi pemecahan masalah dan proses berpikir matematis siswa yang belum kritis dan analitis.
Seorang guru biasanya menjelaskan kepada siswanya bagaimana menjawab suatu soal cerita. Dimulai dengan menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. Setelah itu dilanjutkan dengan proses penyelesaian soal. Merupakan suatu kekeliruan apabila seorang siswa yang mampu menuliskan apa yang diketahui serta apa yang ditanyakan maka siswa tersebut sudah dianggap dapat memahami masalah. Tidak sedikit siswa yang hanya mampu menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan, namun setelah itu tidak mampu berbuat apa-apa. Ini menunjukkan bahwa memahami masalah tidak cukup hanya dengan menuliskan kembali apa yang diketahui serta apa yang ditanyakan. Untuk dapat menyelesaikan soal cerita matematika dengan benar seorang siswa perlu memahami apa yang diketahui serta apa yang ditanyakan. Memahami apa yang diketahui berarti memahami informasi yang tersurat maupun yang tersirat di dalamnya. Sedangkan memahami apa yang ditanyakan berarti mengerti tentang istilah atau konsep-konsep yang berkaitan dengan yang ditanyakan. Setelah itu baru dilanjutkan dengan langkah atau proses penyelesaian.
Hal ini juga didukung tulisan Andriani diperoleh bahwa hasil penelitian Tim Pusat Pengembangan Penataran Guru Matematika di beberapa Sekolah Dasar di Indonesia mengungkapkan bahwa kesulitan siswa dalam belajar matematika yang paling menonjol adalah keterampilan berhitung yaitu 51%, penguasaan konsep dasar yaitu 50%, dan penyelesaian soal pemecahan masalah 49%. Dilanjutkan pada tahun 2002 penelitian Pusat Pengembagan Penataran Guru Matematika mengungkapkan di beberapa wilayah Indonesia yang berbeda, sebagian besar siswa SD kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah dan menerjemahkan soal kehidupan sehari-hari ke model matematika.
Untuk dapat menyelesaikan suatu masalah yang berbentuk soal cerita matematika, diperlukan suatu pendekatan. Tim MKPBM Jurusan Pendidikan Matematika (2001:95-96) mengungkapkan:
Kesuksesan sesorang dalam menyelesaikan pemecahan masalah antara lain sangat tergantung pada kesadarannya tentang apa yang mereka ketahui dan bagaimana dia melakukannya. Metakognisi adalah suatu kata yang berkaitan dengan apa yang dia ketahui tentang dirinya sebagai individu yang belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan prilakunya. Anak perlu menyadari akan kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Metakognisi adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini seseorang dimungkinkan memiliki kemampuan tinggi dalam pemecahan masalah, karena dalam setiap langkah yang dia kerjakan senantiasa muncul pertanyaan: “Apa yang saya kerjakan?”, “Mengapa saya mengerjakan ini?”, “Hal apa yang membantu saya dalam menyelesaikan masalah ini?”.

Menanamkan metakognisi kepada siswa yang berhubungan dengan kompetensi pemodelan matematika mencakup beberapa metode yang cukup logis antara lain: menanamkan ilmu pengetahuan tentang pemodelan, melakukan diskusi atau pembahasan tentang persepsi siswa yang berbeda tentang proses pemodelan di dalam kelas, mengatasi segala kesalahan-kesalahan yang dihasilkan oleh siswa dan menganalisisnya, membuat perencanaan, monitoring, dan validasi, dan membantu mereka dengan skema proses pemodelan, membandingkan dan membahas solusi yang berbeda dengan mengajukan argumen dan alasan untuk itu, dan menggambarkan contoh-contoh positif dari monitoring sendiri dalam pelajaran pemodelan, dan melakukan monitoring eksternal oleh para guru.
Cheong dan Goh (2002: 4- 5) menyebutkan ada 4 metode pembelajaran umum yang mendukung metakognisi yaitu Justification for Answers, KWL (Know Want to Learn), IDEAL (Identify, Define, Explore, Act, and Look), dan PQ4R (Preview, Question, Read, Reflect, Recite, and Review). Keempat metode pembelajaran ini biasanya digunakan untuk meningkatkan kemampuan metakognisi siswa.
Karena menyadari akan pentingnya kemampuan siswa SD untuk menyelesaikan soal cerita, maka peneliti merasa terpanggil untuk menerapkan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan siswa tersebut. Dalam menyelesaikan soal cerita, siswa dituntut untuk memahami hal-hal yang ada pada teks soal tersebut agar dapat menjawabnya dengan benar. Untuk itu, peneliti memilih salah satu metode pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam meningkatkan pemahaman membaca teks dan untuk mengembangkan metakognisi siswa dalam memodelkan soal cerita matematika yaitu PQ4R (Preview, Question, Read, Reflect, Recite, and Review). PQ4R digunakan karena melalui PQ4R kinerja memori dapat ditingkatkan dalam memahami substansi teks. Karena pada hakekatnya PQ4R merupakan penimbul pertanyaan dan tanya jawab yang dapat mendorong pembaca teks melakukan pengolahan materi secara lebih mendalam dan luas. Metode ini digunakan untuk membantu siswa mengingat apa yang mereka baca. P singkatan dari Preview (membaca selintas dengan cepat), Question (bertanya), Read (membaca), Reflect (refleksi), Recite (tanya jawab sendiri), Review (mengulang secara menyeluruh).


DAFTAR PUSTAKA

Anderson, O. W. & Krathwohl, D. R. 2001. A Taxonomy For Learning, Teaching, and Assessing (A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives). New York: Addision Wesley Longman, Inc.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi. Cetakan kelima. Jakarta : Rineka Cipta.
Asrori, Mohammad. 2008. Psikologi Pembelajaran. Cetakan kedua. Bandung: CV. Wacana Prima.

________________. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Cetakan kedua. Bandung: CV. Wacana Prima.

Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Cetakan pertama. Jakarta: Rineka Cipta.

Cheong, Agnes Chang Shook & Christine C, M. Goh. 2002. Teachers’ Handbook On Teaching Generic Thinking Skills. Singapore: Prentice Hall.

Desoete, A. 2001. Off-Line Metacognition in Children with Mathematics Learning Disabilities. Faculteit Psychologies en Pedagogische Wetenschappen. Universiteit-Gent.
(https:/archive.ugent.be/retrieve/917/ 801001505476.pdf diakses 30 Oktober 2008).

Djiwandono, Sri Esti Wuryani. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Fadillah, Syarifah. 2008. Representasi Dalam Pembelajaran Matematika. (Online), (http://fadillahatick.blogspot.com/2008/06/reoresentasi-matematik.html, diakses 13 Juli 2010).
Hamson. 2003. The place of mathematical modeling in mathematics education. In S. J. Lamon, W. A. Parker & K. Houston (Eds.). Mathematical modeling: A way of life. Academic Press.

Herawati, Eti. 2004. Analisis Kemampuan Siswa Sekolah Menengah Pertama dalam Menerjemahkan Soal Cerita Ke Dalam Model Matematika dan Penyelesaiannya. Bandung: UPI.
Hergenhahn, B.R dan Matthew H. Olson. Theories of Learning (Teori Belajar). Edisi ketujuh. Cetakan kedua. Jakarta: Kencana.

Huston, Kelley. 2008. Solving a Math Story Problem Five Easy Steps for Completing Any Problem, (Online), (http://middle-school-lesson-plans.suite101.com/article.cfm/solving_a_math_story_problem, diakses 30 Oktober 2008).

Kadir. 2003. Panduan Pengajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Matematika. Cetakan Pertama. Jakarta: CV. Irfandi Putra.

Kholil, Anwar. 2008. Teori Vygotsky tentang Pentingnya Strategi Belajar, (Online), (http://anwarholil.blogspot.com./2008/04/teori-vygotsky-tentang-pentingnya.html, diakses 14 Juli 2010).

K, Abdul Hamid. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Cetakan pertama. Medan: Pascasarjana UNIMED.

Miranda, Yula. 2010. Pembelajaran Metakognitif Dalam Strategi Kooperatif Think-Pair-Share Dan Think-Pair-Share+Metakognitif Terhadap Kemampuan metakognitif Siswa Pada Biologi Di SMA Negeri Palangkaraya, (Online), (http://www.ilmupendidikan.net./2010/03/16/pembelajaran-metakognitif.php, diakses 13 Juli 2010).

Nindiasari, Hepsi. 2004. Pembelajaran Metakognitif Untuk Meningkatkan Pemahaman dan Koneksi Matematik Siswa SMU Ditinjau Dari Perkembangan Kognitif Siswa. Bandung: UPI.

Nurhadi. 2004. Kurikulum 2004 Pertanyaan dan Jawaban. Jakarta: PT. Grasindo.

O’Neil Jr, H. F. & Brown, R.S. 1997. Differential Effects of Question Formats in Math Assessment on Metacognition and Affect. Los Angeles: CRESST-CSE University of California.

Parlaungan. 2008. Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Medan: USU.

Shoenfeld, A. H. 1992. Learning To Think Mathematically: Problem Solving, Metacognition, And Sense-Making In Mathematics. Handbook for Research on Mathematics Teaching and Learning (D. Grouws, Ed.). New York: MacMillan.
(http://myschoolnet.ppk.kpm.my/bcb8.pdf, diakses 30 Oktober 2008).

Sudijono, Anas. 2005. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Edisi Pertama. Cetakan kelima. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Sumiati & Asra. 2008. Metode Pembelajaran. Cetakan kedua. Bandung: CV. Wacana Prima.

Supardjo. 2007. Model Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Matematika Gemar Berhitung 5B untuk Kelas V SD dan MI Semester 2. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

Suryabrata, Sumadi. 2008. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Suzanna, Yenny. 2004. Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif. Bandung: UPI.

Syah, Muhibbin. 2001. Psikologi Belajar. Cetakan ketiga. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.

Tim MKPBM Jurusan Pendidikan Matematika. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA.

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian III: Pendidikan Disiplin Ilmu. Cetakan kedua. Bandung: PT. Intima.

Uno, Hamzah B. 2006. Perencanaan Pembelajaran. Cetakan Pertama. Jakarta: Bumi Aksara.

Walle, John A. Van De. 2008. Matematika Sekolah Dasar dan Menengah Pengembangan Pengajaran Jilid 1. Edisi keenam. Jakarta: Erlangga.

Yulaelawati, Ella. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran Filosofi Teori dan Aplikasi. Bandung: Pakar Raya.



Langkah-langkah penerapan PQ4R mengikuti urutan nama-nama tersebut, yaitu: (1) Preview adalah tugas membaca dengan cepat dengan memperhatikan judul-judul dan topik utama, baca tujuan umum dan rangkuman, dan rumuskan isi bacaan tersebut membahas tentang apa, (2) Question adalah mendalami topik dan judul utama dengan mangajukan pertanyaan yang jawabannya dapat ditemukan di dalam bacaan tersebut, kemudian mencoba menjawabnya sendiri, (3) Read adalah tugas membaca bahan bacaan secara cermat, dengan mengecek jawaban yang diajukan pada langkah kedua, (4) Reflect adalah melakukan refleksi sambil membaca dengan cara menciptakan gambaran visual dari bacaan dan mengubungkan informasi baru di dalam bacaan tentang apa yang telah diketahui, (5) Recite adalah melakukan resitasi dengan menjawab dengan suara keras pertanyaan yang ajukan tanpa membuka buku, dan (6) Review adalah langkah untuk mengulang kembali seluruh bacaan, baca ulang bila perlu, dan sekali lagi jawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Peneliti memilih pokok bahasan pecahan. Peneliti memilih pokok bahasan ini karena siswa selalu menemui hal-hal yang berhubungan dengan pecahan dalam kehidupan sehari-hari. Sewaktu siswa mengembangkan pemahaman mereka mengenai pecahan, mereka bisa dan sebaiknya secara terus menerus mengembangkan penguasaan pecahan dan cara-cara untuk memikirkan kombinasi tentang fakta-fakta dasar. Soal cerita mengenai pecahan juga merupakan metode yang bisa digunakan untuk mengembangkan keterampilan komputasi.
Karena dilatarbelakangi hal-hal di atas, maka peneliti peneliti akan melakukan penelitian dengan judul “PENERAPAN PENDEKATAN METAKOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA KELAS V SD DALAM MEMODELKAN SOAL CERITA MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN PECAHAN”.

1.2. IDENTIFIKASI MASALAH
Berbagai masalah ditemui dalam pembelajaran matematika di tingkat Sekolah Dasar. Karena pentingnya penguasaan matematika yang kuat sejak dini, maka perlu diupayakan penanggulangan masalah-masalah tersebut sejak dini pula. Masalah yang ditemui dalam pembelajaran matematika di tingkat Sekolah Dasar antara lain dalam pembelajaran soal cerita. Adapun masalah-masalah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Kemampuan siswa kelas V SD dalam menyelesaikan masalah matematika masih rendah karena kurangnya pemahaman siswa tentang masalah matematika tersebut.
2. Kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika masih rendah.
3. Hasil belajar matematika siswa kelas V SD masih rendah.
4. Siswa kelas V SD belum mampu mengoptimalkan dan meningkatkan kemampuan metakognisinya dalam belajar matematika.
5. Pembelajaran matematika yang diterapkan selama ini masih belum memadai.
6. Kurangnya pengembangan dan penerapan pendekatan metakognitif dalam pembelajaran matematika.
7. Pengembangan pendekatan metakognitif untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika.
8. Penerapan pendekatan metakognitif untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika.

1.3. PEMBATASAN MASALAH
Pentingnya upaya untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut, agar dapat terselesaikan dengan baik, maka peneliti merasa perlu untuk membatasi masalah yang akan diteliti. Dari berbagai masalah di atas, maka masalah yang akan diteliti dibatasi pada:
1. Kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika. Kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika merupakan aktivitas menerjemahkan kalimat cerita menjadi persamaan, pertidaksamaan, atau fungsi maupun membuat model berupa diagram. Adapun pokok bahasan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pecahan.
2. Penerapan pendekatan metakognitif untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika. Pada aspek penerapan pendekatan metakognitif ditinjau dari tahap adaptasi dan penerapan tindakan. Pada tahap adaptasi ini, siswa akan diperkenalkan dengan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan metakognitif PQ4R, dan dilanjutkan dengan penerapan tindakan.

1.4. RUMUSAN MASALAH
Perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:
1. Apakah penerapan pendekatan metakognitif PQ4R dapat digunakan untuk mengungkapkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan?
2. Apakah terdapat peningkatan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan melalui penerapan pendekatan metakognitif PQ4R?

1.5. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti antara lain:
1. Untuk mengidentifikasi penerapan pendekatan metakognitif PQ4R dalam mengungkapkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan.
2. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan melalui penerapan pendekatan metakognitif PQ4R.

1.6. MANFAAT PENELITIAN
Hasil dari pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas ini akan memberikan manfaat yang berarti bagi perorangan/institusi di bawah ini:
1. Bagi guru: dengan dilaksanakannya penelitian tindakan kelas ini, guru dapat sedikit demi sedikit mengetahui pendekatan pembelajaran yang bervariasi khususnya pendekatan metakognitif PQ4R untuk memperbaiki dan meningkatkan sistem pembelajaran di kelas, serta meningkatkan kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika.
2. Bagi siswa: hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi siswa untuk meningkatkan kemampuan metakognisinya dan kemampuannya dalam memodelkan soal cerita matematika.
3. Bagi sekolah: hasil penelitian ini akan memberikan sumbangan yang baik pada sekolah dalam rangka perbaikan pembelajaran.
4. Bagi mahasiswa calon guru: hasil penelitian ini akan memberikan masukan dan sumbangan informasi mengenai pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan di lapangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar