IMAN DAN
TAQWA
DALAM
PERSPEKTIF FILSAFAT
Oleh: Prof. DR. K. H. Achmad
Mudlor, SH.
1.
Pengantar
Karangan
ilmiah ini berjudul “Iman Dan Taqwa Dalam Perspektif Filsafat”. Untuk
menganalisis judul ini perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa Iman danTaqwa adalah
dua unsur agamis yang esensiil dari suatu agama dan tidak mungkin terlepas dari
pembahasan filsafat, khususnya filsafat agama yaitu membahas masalah agama dari
segi filsafat.
Filsafat
agama dalam pandangan berbagai filosof bukanlah pembahasan filsafat secara
bebas, tetapi ia membahas agama dari segi aspek filsafat dengan titik tolak
yang tertentu. Karena agama itu bermacam-macam pedoman dan landasannya, maka
sudah barang tentu landasan yang dipergunakan sebagai titik tolak pembahasan
tulisan ini adalah ajaran Islam.
Landasan
berfilsafat adalah akal bukan wahyu, oleh karena itu dalam sejarah filsafat
terdapat filosof yang beriman dan ada pula filosof yang kufur yang hanya
percaya pada pengetahuan indra yang didukung oelh akal, terutama folisof yang
beraliran meterialistisme.
Sebenarnya
antara berfikir filosofis dan berfikir religius mempunyai titik mulai yang
sama, keduanya mulai dengan percaya. Dalam filsafat dimulai dengan percaya pada
kemampuan akal, sedangkan dalam agama dimulai dengan percaya pada ketetapan
wahyu. Menurut agama Islam, Iman diartikan secara sederhana adalah kepercayaan,
sedangkan dalam filsafat agama Iman tersebut dipahami secara radikal.
Dalam
menghadapi kepercayaan kepada kebaradaan Tuhan, setiap manusia atau setiap
agama mempunyai konsep yang berlain-lainan tentang apa yang dinamakan Tuhan.
Misalnya Plato sering menyebut Tuhan dengan kata (The Good), yaitu Tuhan yangb
baik, tetapi dia tidak pernah menyebut Tuhan yang hidup (Yhe Live). Bagi
Aristoteles, bahwa kepercayaan terhadap adanya Tuhan adalah kepecayaan kepada
adanya zat yang memberi arti kepada alam, tetapi Tuhan yang tidak dapat kita
hubungi, artinya bukan Tuhan yang dapat kita sembah dan kita mintai. Tuhan menurut Aristoteles merupakan it bukan he.
Tuhan menurut kepercayaan agama greek adalah Tuhan yan dianggab mempunyai
hubungan dengan masalah kerohanian atau suatu kekuatan dalam dunia spiritual.
Kita sedikit agak setuju Tuhan seperti yang dikemukakan Pascal, yaitu Tuhannya
Nabi Ibrahim, Nabi Ishak, Nabi Ya`qub, sebab Tuhan ditambah predikat Nabi-Nabi
yang diakui oleh agama Islam, sekalipun sifat-sifat Tuhan tidak disebutkan.
Tuhan yang dibahas dalam tulisan ini adalah Tuhan yang diberi predikat 99
asmaa`ul chusna.
Iman dan taqwa dalam judul diatas bukan
merupakan kesatuan yang utuh, akan tetapi antara keduanya merupakan dua
pengetahuan yang mempunyai hubungan yang erat sekali. Tinggi rendahnya nilai
keimanan berpengaruh besar terhadap tinggi rendahnya nilai ketaqwaan. Sedangkan
tinggi rendahnya nilai ketaqwaan sebagai bukti nilai kebenaran nilai Iman yang
dimiliki. Oleh karena itu makalah ini perlu sekali terlebih dahulu memnbahas
pengertian iman dan taqwa serta hubungan antara keduanya.
Setiap lubuk hati manusia tidak boleh
kosong dari potensi kepercayaan. Dalam filsafat ilmu ini ia sebagai alat tahu.
Tidak percaya terhadap adanya sesuatu berarti percaya bahwa sesuatu itu tidak
ada. Usaha filosof untuk menjelaskan seluruh kenyataan secara tuntas ternyata
masih ada sesuatu sisa yang tidak dapat dijelaskan yang berperan besar terhadap
kehidupan manusia. Sisa ini oleh Herbert Spencer diberi istilah The great of
imknowable yang harus diterima dengan sikap percaya atau tidak percaya.
Bahkan dalam kehidupan manusia sering dihadapkan dengan sesuatu misteri yang
tersembunyi dibalik gejala-gejala, bahwa dibalik segala sesuatu yang terpaksa
harus dipercaya. Hal ini mendorong untuk dibahas secara radikal oleh berbagai
filosof yang tekun dengan filsafatnya. Oleh karena itu dari sisi ini perlu
dibahas tentang peran iman dalam meningkatkan amal ketaqwaan.
Dalam agama Islam iman mempunyai peran
dan pengaruh yang besar terhadap penghidupan manusia dialam semesta ini, baik
dalam segi hubungannya dengan Tuhan dan
dan sesama manusia maupun hubungannay dengan alam fisika dan metafisika. Wilian
James seorang filosof kelahiran New York dengan teori dogmatisnya telah
membahas masalah-masalah agama, khususnya tentang iman kepada Allah. James
tidak mempersoalkan tentang kebenaran kepercayaan-kepercayaan dalam agama,
tetapi yang dipersoalkan adalah hasil menjadikan agama sebagai pedoman hidup.
Baginya kalau kepercayaan atau ide-ide agama itu memperkaya hidup maka itu
adalah benar. Kalau ada anggapan yang dapat menjadi dasar suatu hidup yang
baik, maka sebaiknya percaya terhadap
anggapan itu. Kalau harus memilih antara anggapan yang berbeda maka
harus berfikir dari titik akhir. Perspektif tentang manusia dan dunia dengan
Allah menggambarakan masa depan yang lebih baik dan sesuai dengan keinginan
kita dari pada perspektif tanpa Allah. Perspektif pertama lebih berguna,
maka lebih benar. Dari sisi ini maka perlu dibahas pengaruh iman terhadap
kahidupan manusia.
Jadi
makalah yang berjudul “Iman dan Taqwa dalam Perspektif Filsafat” dibatasi
pembahasan sebagai berikut.
·
Iman dan taqwa serta hubungan anatara keduanya
·
Peranan iman dalam membentuk ketaqwaan
·
Pengaruh kekuaatan iman terhadap kehidupan individu dan
masyarakat.
Tiga
rumusan tersebut akan dibahas dalam tulisan yang singkat dan kesempatan yang
terabatas. Namun semoga memenuhi hajat bagi para pembaca dan dapat dijadikan
pandangan untuk membahas yang lebih luas.
2.
Iman dan taqwa serta
hubungan antara keduanya
Iman dan
taqwa adalah dua unsur pokok bagi pemeluk agama. Keduanya merupakan elemen yang
penting dalam kehidupan makhluq manusia dan sangat erat hubungannya dalam
menentukan nasib hidupnya serta memiliki fungsi yang urgen.
Menurut
ahli hukum, iman itu hanya sekedar pengakuan suatu makna yang terkandung dalam
lubuk hati, menurut para teolog, iman itu adalah kepercayaan yang tertanam
dalam lubuk hati dengan keyakinan yang kuat tanpa tercampuri oleh keraguan dan
berperan terhadap pendangan hidup atau amal perbuatan sehari-hari. Sedangkan
menurut berbagai filosof, iman diartikan lebih jauh dari lafidz dan makna serta
tidak terikat dengan dalil-dalil apologis. Misalnya Karl Teodor Yoeper seorang
filosof Jerman mengetengahkan istilah iman falsafi yang universil yang berlaku
untuk semua zaman dan kebudayaan. Isi iman falsafi baginya, bahwa Allah itu
ada, manusia harus mampu memilih memilih yang baik secara tak bersarat, dunia
tidak merupakan kenyataan terakhir dan bahwa cinta kasih manusia merupakan
suatu bukti adanya Allah. Semua pengertian-pengertian yang dikemukakan diatas
pada dasarnya menunjukkan, bahwa iman itu berperanan dan berpengaruh terhadap
tindak laku manusia dalam segala aspek kahidupan manusia.
Menurut
filosof islam Imam Ghozali bahwa iman itu berkaitan dengan hal-hal yang bersifat spiritual atau batin,
dimana hati dapat menangkap iman dalam pengertian hakiki melalui kasyaf yang
diperoleh berkat pancaran sinar Ilahi padanya. Dalam kesempatan lain beliau
menegaskan, bahwa arti iman adalah pengakuan yang kuat tidak ada pembuat (faa`il)
selain Allah. Makna iman yang dikemukakan ini menimbulkan problema metafisis,
diantaranya membatasi sebab pembuat (illah faa`iliyah) hanya kepada
Allah, manafikan kebebasan berikhtiar dari manusia serta penyerahan diri (tawakkal)
kepada-Nya. Pemikiran Imam Ghozali ini disebut dengan istilah tauhid, sebab
artinya keimanan itu tidak boleh menghubungkan sebab tersebut kepada selai
Allah. Dialah pembuat satu-satunya dan
selain-Nya hanya sekedar washilah (perantara). Hukumnya perantara itu dalam
tinjauan filsafat juga sebab, namun sebab pokok.
Bagi
Imam Ghozali iman itu bukan lawan dari syirik, tetapi peng-Esaan kepada Kholiq
(Pencipta). Oleh karena itu bagi orang yang meng-Esakan Allah harus bersikap
tawakkal. Tawakkal bukan berarti maniadakan ikhtiar, tetapi maniadakan
kebebasan berikhtiar, karena dalam tawakkal manusia berkesempatan untuk kasab
(berusaha). Bahkan dengan tawakkal itu dapat mengenal hakekat ikhtiar dan sekaligus
dapat mengetahui nilai dan kualitas iman. Iman yang sebenarnya harus membuahkan
tawakkal, sehingga dapat memperoleh ridho Allah. Dalam kitab suci dikemukakan,
bahwa Nabi Hud, Nabi Musa dan tang lainya telah menjadikan tawakkal sebagai
benteng kekuatan bertaqwa dalam menghadapi kaumnya. Ini semua menunjukkan,
bahwa antara iman dan taqwa saling berpengaruh dalam membentuk membentuk
manusia berkepribadian luhur.
Iman
menurut pemikiran Imam Ghozali diatas mengandung implikasi yang sangat luas.
Diantaranya sekaligus sebagai garis pemisah terhadap pandangan orang yang
mengingkari wujud dibalik materi, menolak dengan tegas faham polotisme,
atheisme, animisme, dan lainnya. Penafsiran sebab tauhid sebagaimana yang telah
diterangkan oleh Imam Ghozali tidak dapat disamakan dengan penafsiran sebab
yang dengan dikemukakan oleh Aristoteles, sebab Aristoteles tidak bermaksud
dengan konsepnya itu menafikan sebab material. Gerak alam ini dipandang olehnya
sebagai gerak tujuan (illah ghoyah) yaitu Tuhan adalah tujuan yang menjadi arah
gerak alam, sedangkan Imam Ghozali menafsirkan Allah penggerak satu-satunya. Dialah pencipta
segala sesuatu, pencipta absolut sebagaimana ditegaskan oleh wahyu-Nya.
Pada
umumnya pada filosof yang tidak mengenal ide-ide agama, maka dalam filsafat
ketuhanan perlu berpendirian, bahwa permulaan alam hanya sebagai pengatur dan
penyusun materia in prima (materi pertama) sebagai Tuhan sendiri. Pengertian
pengatur dan penyusun lebih menunjukkan keterampilan daripada pencipta.
Pendirian mereka menjadikan wujud keseluruhannya tersusun dari sebab akibat.
Tuhan dan materi tunduk di bawah hukum kemestian (nesessity).
Jadi
kenyataan isi dari iman antara filosof murni dengan filosof yang mengakui
ide-ide agama, khususnya Islam jauh berbeda, sehingga konsekuensinya dalam
pembentukan kepribadian luhur dan pola pikir dalam mengarungi kehidupan
ditengah-tengah masyarakat akan terjadi perbedaan juga. Disini tampak dengan
jelas, bahwa sila pertama dari Pancasila sebagai asas tunggal bermasyarakat dan
bernegara tidak sama dengan kepercayaan para filosof yang tidak mengenal agama
dalam mempercayai keberadaan Tuhan. Tuhan dalam Pancasila adalah Tuhan Yang
Maha Esa, Pencipta alam semesta, Penagsih, Penyayang, dan sebagainya seperti
dijelaskan oleh ajaran agama khususnya ajaran Islam. Pemikiran ketuhanan yang
terkandung dalam Pancasila ternyata berpengaruh besar dalam merumuskan Tujuan
Pendidikan Nasional, Pedoman Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila dan
aturan-aturan yang lain di Negara kita yang hampir kesemuanya mengandung
norma-norma luhur.
Filosof-filosof
Islam, baik Mu`tazilah maupun Ahli Sunnah berpendapat bahwa hukum beriman
kepada Allah adalah wajib karena iman itu dapat diharapkan terbentuk masyarakat
yang bertaqwa. Mereka berselisih tentang dasar terjadinya kewajiban itu dari
agama, sebab akal tidak mengenal hukum wajib. Akal hanya mengenal tepat dan
tidak tepat, sesuai dan tidak sesuai, benar dan salah. Abu Mansur Maturidi dan
pemikir Ahli Sunnah memberikan penyelesaian kontradiksi tersebut dengan
penegasannya bahwa dasar kewajiban beriman itu dari agama dan dapat difahami
kebenarannya oleh akal.
Taqwa itu
pada prinsipnya adalah amal batin atau lahir, baik yang bersifat mengikuti
perintah Tuhan maupun amal yang berbentuk menjauhi larangan Tuhan. Yang menjadi
problema apakah unsur amal itu menjadi syarat iman, dengan pengertian, bahwa
apakah tanpa amal seseoran tidak dianggap beriman.
Mayoritas
ahli pikir Mu`tazilah dan Khowarij berpendirian, bahwa amal adalah rukun iman.
Iman seseorang tidak dapat diterima tanpa amal dengan argumentasi, bahwa
kalimat “Innal ladzina Amanuu” dalam firman Allah selalu diiringi kalimat “wa
Amilush sholihahat” atau kalimat lain yang maksudnya sama. Tetapi menurut ahli
pikir Ahli Sunnah, bahwa amal bukan sebagian rukun iman dengan alasan, bahwa
apabila amal termasuk rukun iman berarti Iman dan Islam merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisah, sedangkan berdasar penjelasan Hadist antara keduanya
berlainan, dimana Jibril bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang apa rukun
Iman dan rukun Islam. Masing-masing dijawab dengan jawaban yang berbeda. Bagi
ahli pikir Ahli Sunnah kalimat “Alladzina Amanu” memang selalu diikuti kalimat
“wa amilush sholihat” ini menurut analisa bahasa bahkan menunjukkna perbedaan,
sebab Wau Athaf disitu menunjukkan perbedaan (Taqtadli Mughoyarah). Artinya
iman itu bukan amal dan amal itu bukan iman. Hal ini sama dengan kalau orang
yang makan telah pergi. Ini menunjukkan, bahwa berkata itu bukan makan dan
makan itu bukan berkata. Tetapi ahli pikir Ahli Sunnah mengakui bahwa antara
keduanya mempunyai pengaruh yang erat sekali. Apabila antara dua pendapat
tersebut diatas dikomparasikan maka pendapat ahli pikir Ahli Sunnah lebih kuat
argumentasinya. Sebab manakala amal itu termasuk rukun iman dan iman tidak diterima tanpa amal
sholeh, maka alangkah sedikitnya orang-orang yang masuk surga. Dalam pada itu
dikemukakan oleh suatu hadits, bahwa “akan keluar dari neraka siapa saja yang
didalam lubuk hatinya teradapat sedikit dari iman”. Hadits ini menunjukkan
orang yang beriman tanpa amal bagaimanapun akan masuk surga sekalipun sangat
lama sekali merasakan neraka.
3.
Peranan Iman dalam
membentuk amal ketaqwaan
Peranan
iman tidak dapat terhitung jumlahnya. Yang tidak diketahui lebih banyak dari
pada yang diketahui. Bahkan peranannya dalam dunia metafisika sedikit sekali
yang dapat dijelasakan.
Iman adalah
sesuatu yang tersembunyi dalam jiwa (Ma waqaro fil qalbi). Berdasarkan
eksperimen sebagian besar ahli jiwa berkesimpulan, bahwa iman kepada Allah
termasuk obat yang manjur untuk menyembuhkan penyakit jiwa atau menghilangkan
gangguan jiwa. Kesimpulan inin diperkuat oleh filosof-silosof besar diantaranya
Francis Bacon, William James, Kierkegoor dan lain-lain.
Menurut
filosof Islam Jamaluddin Alafghoni, bahwa iman kepada Allah menumbuhkan
keteguahan pendirian dalam menghadapi kesulitan dan bahaya, bahkan mampu untuk
membentuk kerelaan dan meninggalkan kemewahan hidup, manakala ada seruan untuk
bejuang dijalan Allah. Keteguhan pendirian tersebut menjadikan kekuatan yang
sangat teguh walaupun bahtera kehidupannya terombang ambing oleh ombak dari
segala penjuru. Kekuatan tersebut sekalipun merupakan pendirian setiap
individu, namun menjadi kekuatan masyarakat dan bangsa. Pemikiran Jamaluddin
ini sejalan dengan kepercayaan filosof Plato, bahwa suatu bangsa tidak dapat
menjadi kuat, kecuali bila ia percaya kepada Tuhan, sekedar kekuatan alam atau
sebab pertama atau elan vital, yang tidak berupa person, jarang sekali dapat
berhasil mengilhamkan harapan, pengabdian atau pengorabanan. Akan tetapi Tuhan
yang hidup dapat berbuat semua ini. Kedua pemikiran tersebut menunjukkan, bahwa
peranan iman adalah menumbuhkan kekuatan pendirian.
Telah
disepakati oleh semua ilmuan, bahwa manusia adalah makhluk sosial tidak mungkin
terlaksana tanpa dukungan kerjasama anggota masyarkat. Kerjasama tidak akan
langgeng tanpa adanya aturan atau hukum atau undang-undang yang mengatur
hubungan untuk mematuhi hak dan kewajiban masing-masing anggota masyarakat.
Untuk merealisasinya sangat membutuhkan pendukung atau kekuatan. Kekuatan
pemerintah hanya dapat mencegah pelanggaran yang nyata dan dapat dibuktikan.
Sedangkan para hakim yang berstatus penegak hukum sering dikuasai oleh hawa
nafsunya. Maka untuk menghadapi kejahatan atau kekejaman yang terselubung
membutuhkan kekuatan yang mampu mengendalikan nilai hukum dan norma-norma
luhur. Hampir semua ahli-ahli agama mengakui, bahwa iman dan taqwa berperan
sebagaikekuatan pengeandali hawa nafsu untuk menegakkan norma dan nilai tersebut.
Orang yang
beriman kepada Allah mempunyai rasa atau kesadaran tentang kelamahan dan
kekurangannya. Kelamahan dan kekurangnnya ini dapat menimbulkan sifat menyerah
kepada Allah yang diimani. Hal ini Islam mengakui berdasarkan wahyunya, menurut
Th. Steinbuchel, bahwa dalam kepercayaan kepada Tuhan, manusia mempunyai rasa enfurcht
und mertven (rasa hormat dan menyerah dengan percaya). Dalam Islam pengaruh
iman diantaranya rasa tawakkal (Ali Imron: 160). Tawakkal dalam tinjauan
tasawuf ini harus seiring dengan kesabaran. Keberhasilan manusia tidak mungkin
sepenuhnya dari usaha sendiri. Sedangkan kecil dan tidaknya ditentukan oleh
berbagai faktor diluar kemampuannya. Faktor-faktor itu adalah sebab
keberhasilan. Banyak akibat yang sebabnya bermacam-macam dan sebaliknya, banyak
sebab yang akibatnya bermacam-macam. Banyak akibat yang sulit diketahui
sebabnya dan banyak sebab yang sulit diketahui akibatnya. Dalam situasi diatas
sikap tawakkal sangat diperlukan. Iman yang kuat mempunyai peran untuk
menimbulkan tawakkal. Dari sini manusia akan mengetahui hakekat usahanya.
Orang
beriman mempunyai tekat untuk berbuat baik. Kalau kita pinjam istilah filosof
dari Max Scheler ialah Wollen de Tuns (Niat untuk berbuat). Kalau kita menukil
istilah wahyu adalah `azam atau iradatun jaazimatun (kehendak yang sudah
pasti). Oleh Max Scheler dinyatakan, bahwa kesiapan yang fundamental ini
disebut tekad, sebab didalamnya terdapat keberanian dan tanggung jawab. Memang
menegakkan norma yang luhur itu membutuhkan keberanian. Menurut ajaran wahyu
disebut tekat menegakkan yang haq itu bukan didorong oleh hawa nafsu,
kepentingan pribadi dan golongan, akan tetapi didorong oleh pikiran yang suci
yang tumbuh berkat kekuatan iman. Karena itu mereka tidak takut menghadapi
penegak-penegak kebathilan, karena yakin, bahwa pelindungnya adalah Allah.
Manusia
menurut mandangan Max Scheler memiliki tiga suasana (sphare), yaitu suasana
keindraan, suasana vital dan suasana rohani. Dengan tiga suasana ini maka
dapat dibedakan tiga macam peranan (gepuhle). Perasaan keindraan adalah rasa
seperti enak, pahit dan semacamnya. Rasa vital ada dua cabang yaitu, rasa
kehidupan jasmani (lebengepuhle) seperti lelah dan segar bugar, dan rasa
kejiwaan (seeliche-gepuhle) seperti apabila orang yang berkata bingung, aku sedih
dan aku susah. Kemudian yang ketiga adalah rasa rohani, misalnya bahagia dan
damai. Disini badan tidak tersangkut. Orang yang sedang sedang menderita
tubuhnya bisa juga merasa bahagia. Diantara tiga nilai diatas nilai rohani
lebih atas. Sedangkan Allah menurut Scheler sebagai Maha Nilai. Baginya
menyerah kepada Allah tidak kehilangan nilai, melainkan bertambahnya nilainya.
Menurut
ajaran wahyu orang mu`min yang sebenaranya ialah orang cinta tertingginya
diarahkan kepada Allah (Asyaddu Cubban Lillah). Bahkan menurut wahyu manusia
diancam oleh Allah manakala cintanya kepada Allah tidak diatas segala macam
cinta. Cinta yang tinggi ini menjadi dasar semua cinta kita. Manakala manusia
beriman salah satu jenis kecintaannya gagal arau tidak terpenuhi, maka tidak
akan merusak kebahagiaan hidup asal cinta tertingginya tetap bercokol. Uraian
diatas dapat dirumuskan, bahwa iman yang kokoh berperan menumbuhkan rasa cinta
kepada Allah dan sekaligus berperan menumbuhkan kebahagiaan hidup.
Uraian
diatas dapat disimpulkan, bahwa peran iman, diantaranya menghilangkan gangguan jiwa, menumbuhkan keteguahan
pendirian, menumbuhkan kekuatan pengendali hawa nafsu, menumbuhkan tawakkal,
menciptakan tekat berbuat baik dan berperan menciptakan rasa cinta dan bahagia.
Enam
macam peranan tersebut hanya merupakan peranan yang asasi secara minim akan
tumbuh pada orang-orang yang benar-benar beriman. Totalitas peranan tersebut
secara integral dapat menumbuhkan
ketaqwaan dalam hkehidupan manusia, baik sebagai makhluk individual
maupun koletif. Sedangkan gambaran rinci tentang proses peranan iman yang
menumbuhkan ketaqwaan sebagai berikut, yaitu gambaran singkat sebagai
perspektif filsafat agama terhadap iman dan taqwa.
Manusia
adalah makhluk yang membutuhkan keselamatan, bukan untuk sekedar beberapa
tahun, namun untuk selama-lamanya. Bukan keselamatan fisik berupa kesehatan
saja, namun juga keselamatan rohani berupa ketenangan jiwa. Disini iman
berperan untuk melenyapkan semua gangguan jiwa. Lebih dari pada itu ia juga
membutuhkan keselamatan dalam arti yang tinggi. Keselamatan dalam artian ini
menurut wahyu adalah kebahagiaan didunia dan di alam baka.dalam hal ini
dibutuhkan peranan iman berupa menciptakan tekat berbuat baik bersama-sama
peranan iman yang lain yang berfungsi secara integral. Keberhasilan keselamatan
manusia tidak berkat usaha sendiri, namun masih tergantung dengan lainnya,
karena realitasnya dia sebagai suatu titik yang kecil terletak dalam suatu
kosmos yang maha besar dan tidak terhingga. Bahkan dalam kemerdekaannya dia masih
terikat. Oleh karena itu dia membutuhkan dukungan sesamanya dan dukungan
lingkungan. Tetapi ternyatab tidak semuanya mendukung, bahkan menjadi
penghambat dan perintang, karena masing-masing mempunyai keinginan dan
kemampuan yang berbeda. Peranan iman berupa tumbuhnya keteguhan pendirian dan
kekuatan pengendalian hawa nafsu mutlak dibutuhkan. Sudah barang tentu tidak
semua keselamatan berhasil dengan memuaskan bahka sering terjadi kegagalan.
Dalam situasi ini tidak akan terjadi keputusasaan sebab sifat iman yang
sebenarnya berperan menumbuhkan sifat tawakkal. Baik berhasil maupun gagal
tetap bersyukur sebab iman yang sesungguhnya menumbuhkan rasa cinta dan bahagia
dalam situasi apapun. Demikian gambaran proses integral peranan-peranan iman
yang mampu menumbuhkan ketaqwaan yang didambakan oleh kejayaan bangasa dan
negara.
4.
Pengaruh kekuatan iman
terhadap kehidupan individu dan masyarakat
Sebagaimana
peranan iman yang jumlahnya sulit dihitung demikian juga pengaruhnya, dimana
yang tidak diketahui lebih banyak. Lebih
sulit lagi apabila dianalisis pengaruh iman terhadap hal-hal bersifat
metafisik.
William James, seorang guru besar dalam
ilmu filsafat di Harvard University berpendapat, bahwa pengaruh keimanan
menumbuhkan keberanian, semangat, berpengharapan, menghilangkan perasaan takut
serta keluh kesah, memberikan perbekalan hidup yang berupa cita-cita dan tujuan
hidup, menimbulkan dihadapannya lapangan kebahagiaan dan alam subur
ditengah-tengah gurun kehidupan.
Dr. Paul Erneet Adolf seorang guru besar
pada Universitas Saint Jones dan anggota himpunan ahli bedah Amerika
berpendapat bahwa ilmu kedokterran dan ilmu kepercayaaan kepada Allah SWT
keduanya patut menjadi landasan untuk membangun filsafat modern.
Sebenarnya banyak sekali filosof-filosof
dan cendekiawan yang mengakui adanya pengaruh positif dari iman, misalnya Max
Scheler, filosof Jerman, Karl filosof Jerman, Karl ospers seorang filosof
eksistensialisme, J. Kant filosof dari Rusia yang terkenal dengan teorinya
kopernikan ke subyek dan filosof-filosof lain yang terkenal. Pemikiran para
filosof dan cendekiawan tersebut pada umumnya tidak secara jelas diterangkan
proses terjadinya pengaruh tersebut, sehingga sulit untuk diterima oleh
ahli-ahli pikir lainnya.
Misalnya watak dasar manusia adalah
egoisme. Watak inilah yang sering menimbulkan permusuhan, perampasan hak orang
lain, penguasaan dan lain sebagainya. Namun iman yang mengandung ajaran social
dan susila mampu menumbuhkan perdamaian dan kedamaian di tengah-tengah
kehidupan yang saling bermusuhan.
Dalam wahyu ditetapkan, bahwa manusia
itu mempunyai kecenderungan akeduniaan tanpa suatu pedoman dan batas merupakan
biang pokok timbulnya kerusakan masyarakat. Namun disamping itu keimanan mampu
mengendalikan dan menolak kecenderungan itu, karena iman mengandung ajaran
tentang batas diperbolehkannya mencintai keduniaan, yaitu selama tidak
menimbulkan kerusakan dan bahaya bagi kehidupan masyarakat.
Sejak dahulu kala sampai sekarang,
khususnya dalam era globalisasi banyak sekali kegiatan-kegiatan negative yang
tejadi di suatu Negara. Pemerintah dengan undang-undangnya dan hukuman terpaksa
mundur dan tidak mampu menyelesaikan kebiaaan negative tersebut. Ternyat
kekuatan iman yang memilki pengaruh melumpuhka kebiasaan yang tidak dapat
dihadapi oleh kekuasaan dan kekuatan lahir.
Pegaruh ekuatan iman melahirkan akhlak
dan moral yang luhur dalam kehidupan manusia, seperti jujur, adil dala segala
situasi, diucapkan kebenaran walaupun terasa sangat berat, ditegakkan kebenaran
sekalipun berakibat merugikan dirinya dan keluarganya, bersikap adil terhadap
lawan sebagaimana bersikap adil di tengah-tengah kawan, masih banyak lagi
norma-norma luhu yang dicetuskan oleh kekuatan iman. Oleh karena sangat patut
sekali apabila dinyatakan bahawa iman dan taqwa adalah kunci pengalaman nilai-nilai
luhur.
Dengan kunci iman yang menentukan damai
atau perang, aman atau kacau, hidup atau mati, tentram atau gelisah, mujur atau
malang, kuat atau lemah, halal atau haram, dan sebagainya. Oleh karena itu
kepercayaan tentang keesaan Tuhan tidak saja merupakan akibat dai terutusnya
nabi Muhammad saw, tapi juga menjadi akibat pokok dan dasar terutusnya
nabi-nabi semuanya.
Perubahan jiwa seseorang aau masyarakat
merupakan suatu reformasi dala pandang filsafat. Setiap pembangunan dan
kebangkitan umat dalam situasi apapun harus sejalan dengan reformasi jiwa
tersebut. Apabla tidak sejalan maka usaha pembangunan dan kebangkitan ummat itu
hanya berupa rencana atau program semata-mata.
Reformasi jiwa bukanlah suatu hal yang rinagn
dilakukan, tetapi merupakan suatu hal yang berat dan sulit, sebab manusia
merupakan makhluk yang dalam dirinya bertemu secara integral semua sifat-sifat,
baik positif maupun negative yang memerlukan media yang mampu sebagai mekanisme
spiritual yang menormalisir sifat-sifat yang paradok itu. Oleh karena itu wajar
perubahan jiwa manusia termasuk usaha yang sangat berat, membendung aliran air
yang dahsyat dan mengubah arah aliarannya, membuat terowongan tanah dibawah
laut merupakan pekerjaan yang lebih ringan daripada usaha mengubah jiwa dan
pandangan hidup.
Tetapi ternyata dalam pengalaman sejarah
pengaruh kekuatan iman yang mampu menciptakan perubahan jiwa manusia dan
menjadikan manusia dalam bentuk baru, sehingga berubah juga pandangan hidupnya
didua masa, yaitu masa di dalam keadaan kafir dan masa didalam keaadaan
beriman, maka jelaslah bahwa dalam masa kedua itu bukan lagi seperti dalam masa
pertama, sekalipun nama dan bentuk tubuhnya berubah.
Kadang pengaruh iman terhadap seseorang
terjadi secara drastic, tanpa memandang umur dan tingkat penghidupan. Sering
pengaruh tersebut bertentangan dengan teori para psikolog, dimana mereka
menetapka teorinya, bahwa keberhasilan pendidikan terikat oleh masa-masa
tertentu. Hal ini berbeda dengan pengaruh iman, apabila iman telah tertanam
dalam jiwa seseorang, maka iman tersebut mampu mengubah jiwa dan pandangan
hidup. Semuanya
itu tidak terbatas pada masa-masa tertentu, baik masa remaja, dan masa dewasa
maupun tua.
Pengaruh
iman terhadap jiwa bukan suatu hal yang diragukan sebagaimana dapat disaksikan
pada fakta sejarah bangsa arab. Pengaruh iman terhadap perubahan jiwa tidak
hanya terjadi pada kehidupan masyarakat dan bangsa, namun juga terjadi terhadap
individu, baik pria maupun wanita, seperti terjadi pada seorang laki-laki
bernama Umar bin Khattab dan seorang wanita bernama Khansa`. Ternyata pribadi
keduanya sebelum dan sesudah beriman jauh berbeda. Berkat pengaruh iman
keduanya menjadi hamba Allah yang penuh taqwa dalam segala situasi dan kondisi.
Semoga
tulisan singkat ini bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
adalah dosen Filsafat Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Malang.
Bahan Referensi
·
Al-Qur`an wa al Ilmi al Hadits, Musthofa Shodiq Al
Rofi`i.
·
Ihya` al `Ulum al Din, Abu Hamid Muhammad Al Ghozali.
·
Al Munqis min al Dlolal, Abu Hamid Muhammad Al Ghozali.
·
A. Modern
Philosophy of Religion, Henry Regnery.
·
Al Wujud al Haq, Dr. Hasan Al Huwaidy.
·
Percikan Filsafat, Prof. Dr. N. Drijerkara S.J.
·
Tarikh al Hukama, Al Qifti.
·
Berkenalan dengan eksistensialisme, Prof. Dr. Fuad Hasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar