Sabtu, 17 Maret 2012

mendidik dengan hati

Mendidik dengan Hati


Mengapa anak betah berlama-lama main game, tapi langsung mengeluh capai ketika baru setengah jam belajar? Hati yang menikmati! Itulah jawabannya. Menikmati adalah pekerjaan hati. Hati memiliki energi tak terbatas sehingga rasa capek, pegal, dan kesal tidak mudah menghinggapi, berapa lama pun atau sesulit apa pun pekerjaan itu.
 
Menjadi guru tidak selamanya pilihan serius dan sepenuh hati. Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada para guru sejati, penulis masih belum bisa melupakan memori ketika dahulu orang memilih masuk sekolah pendidikan guru (SPG) dengan alasan bisa cepat kerja, lebih murah, atau karena tidak diterima di SMA. Begitu juga ketika masuk IKIP, tidak sedikit yang masuk karena alasan hampir sama. 

Sah saja memang. Tapi, bisa dibayangkan jika alasan itu tidak diikuti dengan hati yang memilih, hati yang terlibat, dan hati yang menikmati. Itulah kunci seorang guru atau pekerjaan apa pun agar dapat maksimal memainkan peran sebagai sosok yang harus digugu dan ditiru. Semakin penuh hati itu dengan muatan nilai positif, semakin banyak energi yang dimiliki untuk bertahan menikmati peran sehingga membuahkan hasil yang maksimal. Setiap manusia memiliki hati, tapi hanya hati yang hidup bisa melahirkan energi positif.

Hati yang mengetahui sumber kekuatan. Jika kekuatan yang diandalkan semata ijazah keguruan lalu menjadi percaya diri penuh dengan itu, ternyata ijazah tidak bisa bicara banyak ketika menghadapi begitu banyak masalah dan tantangan menjadi seorang guru.

Hati yang memahami tujuan sebuah pekerjaan. Ketuntasan belajar sesuai standar, bekerja sesuai tata tertib, serta murid yang lulus dengan nilai akademis dan akhlak memuaskan sehingga sejumput rupiah di akhir bulan bukan satu-satunya tujuan.

Hati yang terus mencari bagaimana seni mencapai tujuan. Menjadi guru adalah seni membentuk manusia. Inilah tingkatan seni yang sangat rumit. Memahat nilai di hati dan pikiran manusia sehingga menjadi guru, bukan sekadar menyelesaikan tugas sesuai surat keputusan, tetapi seni menyelesaikan tugas agar hanya menghasilkan yang terbaik.

Batas ketuntasan belajar berubah menjadi kepuasan tanpa batas sehingga batas prestasi menjadi sangat tinggi. Hati yang seperti ini akan mengeluarkan energi untuk terus belajar, membaca, mengevaluasi, serta menginovasi proses pengajaran dan pendidikan, bukan mengambil jalan pintas yang tidak terpuji atau sekadar mengejar deretan angka 8, 9, atau 10.

Hati yang dipenuhi cinta untuk memperbaiki dan mengubah segala jenis potensi menjadi lebih baik. Hati yang seperti ini akan senantiasa memandang semua anak didik dan keadaan sebagai tantangan, ladang menyemai benih kebaikan. Tidak ada anak yang bodoh, tidak ada anak yang bandel lalu mereka harus dicampakkan, tapi yang ada ialah anak-anak istimewa yang memberi tantangan lebih. Anak-anak seperti ini yang mengajarkan kita kesabaran, keikhlasan, dan kreativitas.

Untuk menghasilkan pendidikan yang berkualitas, bukan hanya diperlukan gerakan nasional pendidikan berbasis karakter, melainkan juga membuat gerakan nasional mendidik berbasis karakter. Tidak akan lahir anak-anak berkarakter, kecuali dari guru-guru dan orang tua yang berkarakter. Dengan guru berkarakter, tepatnya berakhlak, tidak akan ada kepala sekolah atau guru yang menyuruh anaknya untuk melakukan sontek massal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar