Pembelajaran Kooperatif Metode Two Stay Two Stray (Dua Tinggal Dua Tamu)
Salah satu metode pembelajaran kooperatif adalah metode Two Stay Two Stray (Dua Tinggal Dua Tamu). Menurut Lie (2008:61), metode pembelajaran ini dikembangkan oleh Spencer Kagan (1992) dan biasa digunakan bersama dengan metode Kepala Bernomor (Numbered Heads). Metode pembelajaran Two Stay Two Stray (Dua Tinggal Dua Tamu) memberi kesempatan kepada kelompok untuk membagi hasil dan informasi dengan kelompok lain. Hal ini dilakukan karena selama ini masih banyak kegiatan belajar mengajar yang diwarnai kegiatan individual saja
Metode pembelajaran ini juga bertujuan agar siswa berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan kelompok lain (Herdian, 2009). Tahap-tahap pelaksanaannya adalah kerja kelompok, dua siswa bertamu ke kelompok lain dan dua siswa lainnya tetap di kelompoknya untuk menerima tamu (dua orang dari kelompok lain), kerja kelompok, kembali ke kelompok asal, kerja kelompok, kemudian laporan kelompok-kelompok.
Untuk lebih jelasnya langkah-langkah penerapan metode pembelajaran Two Stay Two Stray (Dua Tinggal Dua Tamu) diuraikan oleh Anita Lie (2008) sebagai berikut.
Guru menyampaikan indikator dan tujuan pembelajaran
Guru menggali pengetahuan siswa tentang materi yang akan dipelajari melalui tanya jawab
Guru mempresentasikan tata cara pembelajaran kooperatif Two Stay Two Stray (Dua Tinggal Dua Tamu)
Guru memberikan pengarahan tentang hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kooperatif seperti: semua anggota kelompok bertanggung jawab atas keberhasilan belajar anggota kelompoknya, menghargai pendapat teman, saling membantu selama proses pembelajaran, membagi tugas individu sehingga semua anggota mempunyai tanggung jawab yang sama dalam mempelajari materi
Siswa dibagi dalam kelompok, masing-masing kelompok beranggotakan 4 orang siswa
Guru memberikan beberapa tugas dan pertanyaan yang harus diselesaikan siswa secara berkelompok
Siswa bekerja sama dalam kelompok tersebut, yang disebut dengan kelompok awal. Dalam kelompok awal ini siswa berdiskusi tentang semua permasalahan yang diberikan oleh guru
Setelah selesai, dua siswa dari masing-masing kelompok meninggalkan kelompoknya dan bertamu ke kelompok lain. Dalam kelompok ini, siswa berbagi informasi tentang berbagai permasalahan yang telah dipecahkan dalam kelompok awal. Kelompok ini disebut dengan kelompok bertamu dan menerima tamu.
Dua siswa yang tinggal dalam kelompok awal bertugas membagikan hasil kerja dan informasi kepada 2 siswa yang bertamu ke kelompok tersebut
Setelah batas waktu bertamu dan menerima tamu habis, tamu mohon diri untuk kembali ke kelompok awal dan melaporkan hasil tukar informasi dari kelompok lain
Siswa yang bertamu ke kelompok lain dan siswa yang bertugas menerima tamu dari kelompok lain saling mencocokkan dan membahas hasil-hasil kerja siswa
Pembelajaran kooperatif model Two Stay Two Stray (Dua Tinggal Dua Tamu) ini terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut.
Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan ini, hal yang dilakukan guru adalah membuat silabus dan sistem penilaian, desain pembelajaran, menyiapkan tugas siswa dan membagi siswa dalam beberapa kelompok yang masing-masing kelompok terdiri atas 4 orang siswa. Setiap anggota kelompok harus heterogen dalam hal jenis kelamin dan prestasi akademik siswa.
Presentasi Guru
Pada tahap ini, guru menyampaikan indikator pembelajaran, memberikan pengetahuan awal tentang materi yang akan dipelajari dengan melakukan tanya jawab dan sedikit ceramah, mengenalkan dan menjelaskan tentang model pembelajaran kooperatif Two Stay Two Stray (Dua Tinggal Dua Tamu) sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah dibuat.
Kegiatan Kelompok
Dalam tahap ini, kegiatan pembelajaran menggunakan lembar kegiatan yang berisi tugas-tugas yang harus dipelajari oleh tiap-tiap siswa dalam satu kelompok. Setelah menerima lembar kegiatan yang berisi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan konsep materi dan klasifikasinya, siswa mempelajarinya dalam kelompok kecil yaitu mendiskusikan masalah tersebut secara bersama-sama anggota kelompoknya. Masing-masing kelompok menyelesaikan atau memecahkan masalah yang diberikan dengan cara siswa sendiri. Kemudian 2 orang siswa dari masing-masing kelompok bertamu meninggalkan kelompoknya ke kelompok yang lain secara terpisah, sementara dua siswa yang lain tinggal dalam kelompok dan bertugas membagikan hasil kerja dan informasi siswa ke tamu siswa. Setelah memperoleh informasi dari 2 anggota kelompok yang tinggal, tamu mohon diri dan kembali ke kelompok awal dan melaporkan informasi dari kelompok lain kemudian mencocokkan dan membahas hasil-hasil kerja siswa.
Formalisasi
Setelah belajar dalam kelompok dan menyelesaikan permasalahan yang diberikan, salah satu kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya untuk dikomunikasikan atau didiskusikan dengan kelompok lainnya. Kemudian guru membahas dan mengarahkan siswa ke bentuk formal. Selanjutnya guru mengadakan tes tulis untuk mengetahui keberhasilan siswa selama proses pembelajaran.
Sebagaimana metode pembelajaran yang lain, metode Two Stay Two Stray (Dua Tinggal Dua Tamu) ini juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Susanti (2009) menyebutkan ada beberapa kelebihan dan kekurangan dari metode Two Stay Two Stray (Dua Tinggal Dua Tamu).
Kelebihan tersebut antara lain sebagai berikut.
Dapat diterapkan pada semua kelas/tingkatan
Kecenderungan belajar siswa menjadi lebih bermakna
Lebih berorientasi pada keaktifan
Membantu meningkatkan minat dan prestasi belajar
Sedangkan kekurangan dari metode Two Stay Two Stray (Dua Tinggal Dua Tamu) ini ditulis sebagai berikut.
Membutuhkan waktu yang lama
Siswa cenderung tidak mau belajar dalam kelompok
Bagi guru membutuhkan banyak persiapan (materi, dana, dan tenaga)
Guru cenderung kesulitan dalam pengelolaan kelas
Untuk mengatasi kekurangan-kekurangan tersebut, guru terlebih dahulu mempersiapkan dan membentuk kelompok-kelompok belajar yang heterogen ditinjau dari segi jenis kelamin dan kemampuan akademis maka dalam satu kelompok terdiri dari 1 orang berkemampuan akademis tinggi, dua orang yang berkemampuan akademis sedang, dan satu siswa berkemampuan kurang (Lie,2008). Pembentukan kelompok heterogen memberi kesempatan untuk saling mengajar dan saling mendukung sehingga memudahkan pengelolaan kelas karena dengan adanya satu orang berkemampuan akademis tinggi, diharapkan bisa membantu anggota kelompok yang lain.
Senin, 26 September 2011
mencari keliling lingkaran
Mencari Keliling dan Luas Lingkaran
Keliling lingkaran adalah panjang lengkungan yang membentuk lingkaran. Nah, kalo kita misalkan lingkaran itu merupakan sebuah tali, kemudian lingkaran tersebut kita buka, maka keliling lingkaran adalah panjang dari tali yang membentuk lingkaran tersebut.
Jika kita mengukur panjang tali tersebut dengan suatu penggaris kita akan mendapatkan nilai perbandingan yang konstan antara keliling lingkaran dan diameter lingkaran yaitu π yang nilainya adalah 3,14159265358. Dari nilai perbandingan tadi, Sehingga dapat dituliskan rumus untuk mencari keliling lingkaran yaitu:
Keliling Lingkaran = πd ( Pi x Diameter )
Keliling Lingkaran = π x 2r (Pi x 2Jari-jari) = 2 π r
Kalo kita sudah mengetahui cara mencari keliling lingkaran, sekarang kita akan belajar cara mencari luas lingkaran. Teman-teman tau nggak bahwa Luas lingkaran adalah daerah yang terdapat di dalam suatu lingkaran. Begini nih Cara mencari daerah/Luas lingkaran !
Lingkaran yang berwarna hijau menunjukkan area (luas daerah) dari lingkaran. Kemudian, lingkaran tadi kita bagi menjadi juring-juring kecil. Setelah itu lingkaran kita buka sehingga membentuk sebuah persegi panjang.
Gunakan rumus mencari luas persegi panjang yaitu :
Luas persegi panjang = p x l
Dimana panjangnya adalah 1/2 ( keliling Lingkaran) dan lebarnya adalah jari-jari lingkaran (r),Sehingga diperoleh:
Luas=1/2(2πr) x r
Luas= πr2 (Pi x Jari-jari x Jari Jari)
Keliling lingkaran adalah panjang lengkungan yang membentuk lingkaran. Nah, kalo kita misalkan lingkaran itu merupakan sebuah tali, kemudian lingkaran tersebut kita buka, maka keliling lingkaran adalah panjang dari tali yang membentuk lingkaran tersebut.
Jika kita mengukur panjang tali tersebut dengan suatu penggaris kita akan mendapatkan nilai perbandingan yang konstan antara keliling lingkaran dan diameter lingkaran yaitu π yang nilainya adalah 3,14159265358. Dari nilai perbandingan tadi, Sehingga dapat dituliskan rumus untuk mencari keliling lingkaran yaitu:
Keliling Lingkaran = πd ( Pi x Diameter )
Keliling Lingkaran = π x 2r (Pi x 2Jari-jari) = 2 π r
Kalo kita sudah mengetahui cara mencari keliling lingkaran, sekarang kita akan belajar cara mencari luas lingkaran. Teman-teman tau nggak bahwa Luas lingkaran adalah daerah yang terdapat di dalam suatu lingkaran. Begini nih Cara mencari daerah/Luas lingkaran !
Lingkaran yang berwarna hijau menunjukkan area (luas daerah) dari lingkaran. Kemudian, lingkaran tadi kita bagi menjadi juring-juring kecil. Setelah itu lingkaran kita buka sehingga membentuk sebuah persegi panjang.
Gunakan rumus mencari luas persegi panjang yaitu :
Luas persegi panjang = p x l
Dimana panjangnya adalah 1/2 ( keliling Lingkaran) dan lebarnya adalah jari-jari lingkaran (r),Sehingga diperoleh:
Luas=1/2(2πr) x r
Luas= πr2 (Pi x Jari-jari x Jari Jari)
Pengaruh Strategi Pembelajaran Siklus Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas IXSMP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan kebutuhan bagi setiap orang. Pendidikan tersebut bisa didapat baik dari pendidikan non formal maupun pendidikan formal. Pendidikan non formal bisa didapat melalui kegiatan non formal seperti les privat maupun pendidikan yang lain diluar sekolah. Sedangkan pendidikan formal bisa didapat disekolah mulai dari SD, SMP, SMA, maupun perguruan tinggi. Dalam pendidikan khususnya dalam pendidikan formal, matematika merupakan mata pelajaran wajib bagi semua siswa. Adapun tujuan pembelajaran matematika disekolah seperti yang tercantum dalam kurikulum Pendidikan Dasar:Garis-garis Besar Pengajaran (GBPP) Matematika SLTP adalah:
Mempersiapkan agar sanggup menghadapi keadaan didalam kehidupan dan dunia yang selalu berkembang melalui latihan bertindak atas pemikiran logis, rasional, kritis, cermat, jujur, dan efisien;mempersiapkan agar siswa dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari ilmu pengetahuan.
Tujuan tersebut tidak hanya menekankan pada penalaran dan kepribadian siswa, tapi juga keterampilan dalam penerapan matematika. Disamping itu matematika mempunyai pengaruh besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, salah satunya adalah aturan-aturan sains yang menjadi landasan teknologi sejauh ini hanya dapat diungkapkan dalam bahasa matematika.
Sejalan dengan berkembangnya pendidikan , system belajar mengajar harus mampu menumbuhkan rasa cinta, percaya diri serta sikap dan perilaku inovatif dan kreatif pada siswa sehingga pendidikan nasional akan mampu mewujudkan manusia-manusia yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.
Adapun tujuan pendidikan nasional yang disebutkan oleh Oemar Hamalik dalam bukunya adalah:”Merupakan tujuan jangka panjang dan sangat luas yang menjadi pedoman dari semua kegiatan atau usaha pendidikan. Tujuan pendidikan nasional menjadi pedoman seluruh kegiatan pendidikan dan lembaga pendidikan.”
Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan dari pendidikan nasional merupakan suatu tujuan dalam rangka memajukan pendidikan yang dilaksanakan, untuk sekarang dan untuk masa mendatang dimana tujuan tersebut menjadi dasar dari seluruh kegiatan dalam pendidikan.
Dalam rangka pencapaian tujuan tersebut pemerintah telah membentuk berbagai program-program untuk meningkatkan mutu pendidikan, salah satunya adalah pembaharuan kurikulum pada pemahaman praktis dalam kehidupan sehari-hari. Jadi salah satu tuntutan bagi siswa adalah benar-benar memiliki pengetahuan mata pelajaran yang diajarkan disekolah khususnya mata pelajaran matematika yang pada saat ini memiliki peranan penting dalam kemajuan teknologi sehingga bermanfaat bagi kehidupan.
Melihat arti penting dari matematika, maka sudah sepatutnya matematika mendapatkan perhatian yang serius baik ditingkat SD, SMP, maupun SMA, mengingat kenyataan yang dapat kita temukan dilapangan dimana hasil belajar matematika siswa ternyata masih rendah jika dibandingkan dengan mata pelajaran yang lain. Ditambah dengan keluhan siswa tentang kesulitan-kesulitan belajar yang dihadapi. Dalam hal ini, usaha yang perlu dilakukan adalah guru dituntut untuk memilih strategi pembelajaran yang sesuai dengan materi matematika yang diajarkan.
Strategi pembelajaran memiliki peranan penting dalam proses belajar mengajar. Jika seorang guru tidak mampu memilih strategi pembelajaran yang sesuai dengan materi yang diajarkan, kususnya pembelajaran matematika, maka proses penyerapan materi pelajaran khususnya pada materi persamaan kuadrat oleh siswa tidak akan optimal.
Strategi pembelajaran Siklus atau Learning Cycle pertama kali diperkenalkan oleh Robert Karplus dalam Science Curriculum Improvement Study. Siklus belajar adalah: “Salah satu model pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivis. Dimana pendekatan konstruktifis ini dikembangkan menjadi lima tahap, yaitu: (1)Pembangkitan Minat, (2) Eksplorasi, (3) penjelasan, (4) elaborasi, dan (5) evaluasi.”
Penggunaan strategi pembelajaran dalam proses belajar mengajar adalah usaha yang dilakukan untuk membantu siswa dan guru dalam mengatasi hambatan atau kesulitan belajar yang dialami. Pada saat ini bisa kita lihat bahwa strategi belajar dalam proses belajar mengajar masih mendapat perhatian yang minim dari sekolah, sehingga berimbas pada penurunan hasil belajar siswa.
Berdasarkan permasalahan diatas maka, peneliti ingin meneliti tentang “Pengaruh Strategi Pembelajaran Siklus Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas IXSMP
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis mengidentifikasi masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Hasil belajar matematika siswa masih sangat rendah.
2. Siswa kurang menyukai pelajaran matematika karena menganggab bahwa pelajaran matematika sulit dan membosankan.
3. Kebanyakan guru masih mengajar dengan cara yang konvensional.
4. Kurangnya pemahaman siswa terhadap materi system persaman kuad
C. Pembatasan Masalah
Mengingat masalah yang memuat dalam penelitian ini sangat luas,maka peneliti ingin membatasi masalah penelitian yaitu peneliti hanya meneliti hasil belajar matematika siswa kelas IX SMP dengan menggunakan strategi pembelajaran siklus pada materi persamaan kuadrat.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ”Adakah pengaruh strategi pembelajaran siklus terhadap hasil belajar matematika siswa kelas IX SMP ?
E. Definisi Operasional
1. `Strategi Pembelajara Siklus
Strategi pembelajaran menurut Made Wena dalam bukunya adalah: “merupakan cara-cara yang berbeda untuk mencapai hasil pembelajaran yang berbeda dibawah kondisi yang berbeda.” Sedangkan pembelajaran siklus merupakan salah satu strategi pembelajaran dengan pendekatan konstruktifis yang terdiri dari lima tahap yaitu: (1)pembangkitan minat, (2)Eksplorasi, (3)Penjelasan, (4)Elaborasi, (5)Evaluasi.”
Berdasarkan uraian diatas, maka yang dimaksud dengan strategi pembelajaran siklus adalah suatu cara yang dilakukan oleh guru dalam proses belajar mengajar dengan menggunakan pendekatan konstruktivis.
2. Hasil Belajar Matematika
Hasil adalah sesuatu yang didapat dengan jerih payah, sedangkan belajar yang dikemukakan oleh winkel adalah:
Suatu perubahan dalam pelaksanan yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman yang tidak ada hubungannya dengan kematangan rohaniah, kelelahan motivasi perubahan dalam situasi rangsangan atau factor-faktor lainnya yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan belajar.”
Kemudian Abu Ahmadi dan Joko Prasetya memberikan pengertian belajar adalah “sesuatu bentuk pertambahan atau perubahan dalam diri seseorang yang ditanyakan dengan cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan.”
Sedangkan Theresia dalam bukunya memberikan pengertian matematika adalah: “Apa yang kita lakukan sehari-hari yang berkenaan dengan pola-pola, urutan struktur atau bentuk-bentuk dan relasi-relasi diantara mereka.”
Berdasarkan uraian diatas, maka yang dimaksud dengan hasil belajar matematika dalam penelitian ini adalah: suatu hasil yang dicapai siswa dalam proses belajar mengajar dengan melakukan pengukuran melalui tes matematika pada siswa kelas IX SMP Negeri 1 Matangkuli.
F. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: untuk mengetahui apakan ada pengaruh penerapan strategi pembelajaran siklus terhadap hasil belajar matematika siswa pada pokok bahasan persamaan kuadrat dikelas IX SMP Negeri 1 Matangkuli.
G. Manfaat Penelitian
1. Manfat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkuat teori yang sudah ada sebelumnya dalam pembelajaran matematika pada pokok bahasan persamaan kuadrat.
2. Manfaat Praktis
1. Bagi Guru
Bagi guru yaitu sebagai informasi untuk mengetahui bagaimana pengaruh strategi pembelajaran siklus terhadap hasil belajar matematika siswa dalam memahami materi matematika khususnya pasa materi persamaan kuadrat.
2. Bagi Siswa
Hasil penelitian ini bermanfaat bagi siswa sebagai salah satu bahan evaluasi dan bahan penguasaan terhadap materi persamaan kuadrat yang disajikan dengan strategi pembelajaran siklus.
3. Bagi Peneliti
Bagi peneliti manfaatnya adalah dapat mengukur kemampuan siswa dalam memahami materi persamaan kuadrat setelah digunakan strategi pembelajaran siklus dan dapat mengamati perbedaan kemampuan siswa sebelum dan sesudah digunakan strategi pembelajaran siklus.
4. Bagi Lembaga
Bagi lembaga manfaatnya adalah dapat digunakan sebagai acuan dalam meningkatkan hasil belajar matematika siswa, dan dapat mengubah pola pembelajaran bagi siswa yang hasil belajarnya rendah kearah yang lebih baik.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan kebutuhan bagi setiap orang. Pendidikan tersebut bisa didapat baik dari pendidikan non formal maupun pendidikan formal. Pendidikan non formal bisa didapat melalui kegiatan non formal seperti les privat maupun pendidikan yang lain diluar sekolah. Sedangkan pendidikan formal bisa didapat disekolah mulai dari SD, SMP, SMA, maupun perguruan tinggi. Dalam pendidikan khususnya dalam pendidikan formal, matematika merupakan mata pelajaran wajib bagi semua siswa. Adapun tujuan pembelajaran matematika disekolah seperti yang tercantum dalam kurikulum Pendidikan Dasar:Garis-garis Besar Pengajaran (GBPP) Matematika SLTP adalah:
Mempersiapkan agar sanggup menghadapi keadaan didalam kehidupan dan dunia yang selalu berkembang melalui latihan bertindak atas pemikiran logis, rasional, kritis, cermat, jujur, dan efisien;mempersiapkan agar siswa dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari ilmu pengetahuan.
Tujuan tersebut tidak hanya menekankan pada penalaran dan kepribadian siswa, tapi juga keterampilan dalam penerapan matematika. Disamping itu matematika mempunyai pengaruh besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, salah satunya adalah aturan-aturan sains yang menjadi landasan teknologi sejauh ini hanya dapat diungkapkan dalam bahasa matematika.
Sejalan dengan berkembangnya pendidikan , system belajar mengajar harus mampu menumbuhkan rasa cinta, percaya diri serta sikap dan perilaku inovatif dan kreatif pada siswa sehingga pendidikan nasional akan mampu mewujudkan manusia-manusia yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.
Adapun tujuan pendidikan nasional yang disebutkan oleh Oemar Hamalik dalam bukunya adalah:”Merupakan tujuan jangka panjang dan sangat luas yang menjadi pedoman dari semua kegiatan atau usaha pendidikan. Tujuan pendidikan nasional menjadi pedoman seluruh kegiatan pendidikan dan lembaga pendidikan.”
Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan dari pendidikan nasional merupakan suatu tujuan dalam rangka memajukan pendidikan yang dilaksanakan, untuk sekarang dan untuk masa mendatang dimana tujuan tersebut menjadi dasar dari seluruh kegiatan dalam pendidikan.
Dalam rangka pencapaian tujuan tersebut pemerintah telah membentuk berbagai program-program untuk meningkatkan mutu pendidikan, salah satunya adalah pembaharuan kurikulum pada pemahaman praktis dalam kehidupan sehari-hari. Jadi salah satu tuntutan bagi siswa adalah benar-benar memiliki pengetahuan mata pelajaran yang diajarkan disekolah khususnya mata pelajaran matematika yang pada saat ini memiliki peranan penting dalam kemajuan teknologi sehingga bermanfaat bagi kehidupan.
Melihat arti penting dari matematika, maka sudah sepatutnya matematika mendapatkan perhatian yang serius baik ditingkat SD, SMP, maupun SMA, mengingat kenyataan yang dapat kita temukan dilapangan dimana hasil belajar matematika siswa ternyata masih rendah jika dibandingkan dengan mata pelajaran yang lain. Ditambah dengan keluhan siswa tentang kesulitan-kesulitan belajar yang dihadapi. Dalam hal ini, usaha yang perlu dilakukan adalah guru dituntut untuk memilih strategi pembelajaran yang sesuai dengan materi matematika yang diajarkan.
Strategi pembelajaran memiliki peranan penting dalam proses belajar mengajar. Jika seorang guru tidak mampu memilih strategi pembelajaran yang sesuai dengan materi yang diajarkan, kususnya pembelajaran matematika, maka proses penyerapan materi pelajaran khususnya pada materi persamaan kuadrat oleh siswa tidak akan optimal.
Strategi pembelajaran Siklus atau Learning Cycle pertama kali diperkenalkan oleh Robert Karplus dalam Science Curriculum Improvement Study. Siklus belajar adalah: “Salah satu model pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivis. Dimana pendekatan konstruktifis ini dikembangkan menjadi lima tahap, yaitu: (1)Pembangkitan Minat, (2) Eksplorasi, (3) penjelasan, (4) elaborasi, dan (5) evaluasi.”
Penggunaan strategi pembelajaran dalam proses belajar mengajar adalah usaha yang dilakukan untuk membantu siswa dan guru dalam mengatasi hambatan atau kesulitan belajar yang dialami. Pada saat ini bisa kita lihat bahwa strategi belajar dalam proses belajar mengajar masih mendapat perhatian yang minim dari sekolah, sehingga berimbas pada penurunan hasil belajar siswa.
Berdasarkan permasalahan diatas maka, peneliti ingin meneliti tentang “Pengaruh Strategi Pembelajaran Siklus Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas IXSMP
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis mengidentifikasi masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Hasil belajar matematika siswa masih sangat rendah.
2. Siswa kurang menyukai pelajaran matematika karena menganggab bahwa pelajaran matematika sulit dan membosankan.
3. Kebanyakan guru masih mengajar dengan cara yang konvensional.
4. Kurangnya pemahaman siswa terhadap materi system persaman kuad
C. Pembatasan Masalah
Mengingat masalah yang memuat dalam penelitian ini sangat luas,maka peneliti ingin membatasi masalah penelitian yaitu peneliti hanya meneliti hasil belajar matematika siswa kelas IX SMP dengan menggunakan strategi pembelajaran siklus pada materi persamaan kuadrat.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ”Adakah pengaruh strategi pembelajaran siklus terhadap hasil belajar matematika siswa kelas IX SMP ?
E. Definisi Operasional
1. `Strategi Pembelajara Siklus
Strategi pembelajaran menurut Made Wena dalam bukunya adalah: “merupakan cara-cara yang berbeda untuk mencapai hasil pembelajaran yang berbeda dibawah kondisi yang berbeda.” Sedangkan pembelajaran siklus merupakan salah satu strategi pembelajaran dengan pendekatan konstruktifis yang terdiri dari lima tahap yaitu: (1)pembangkitan minat, (2)Eksplorasi, (3)Penjelasan, (4)Elaborasi, (5)Evaluasi.”
Berdasarkan uraian diatas, maka yang dimaksud dengan strategi pembelajaran siklus adalah suatu cara yang dilakukan oleh guru dalam proses belajar mengajar dengan menggunakan pendekatan konstruktivis.
2. Hasil Belajar Matematika
Hasil adalah sesuatu yang didapat dengan jerih payah, sedangkan belajar yang dikemukakan oleh winkel adalah:
Suatu perubahan dalam pelaksanan yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman yang tidak ada hubungannya dengan kematangan rohaniah, kelelahan motivasi perubahan dalam situasi rangsangan atau factor-faktor lainnya yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan belajar.”
Kemudian Abu Ahmadi dan Joko Prasetya memberikan pengertian belajar adalah “sesuatu bentuk pertambahan atau perubahan dalam diri seseorang yang ditanyakan dengan cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan.”
Sedangkan Theresia dalam bukunya memberikan pengertian matematika adalah: “Apa yang kita lakukan sehari-hari yang berkenaan dengan pola-pola, urutan struktur atau bentuk-bentuk dan relasi-relasi diantara mereka.”
Berdasarkan uraian diatas, maka yang dimaksud dengan hasil belajar matematika dalam penelitian ini adalah: suatu hasil yang dicapai siswa dalam proses belajar mengajar dengan melakukan pengukuran melalui tes matematika pada siswa kelas IX SMP Negeri 1 Matangkuli.
F. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: untuk mengetahui apakan ada pengaruh penerapan strategi pembelajaran siklus terhadap hasil belajar matematika siswa pada pokok bahasan persamaan kuadrat dikelas IX SMP Negeri 1 Matangkuli.
G. Manfaat Penelitian
1. Manfat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkuat teori yang sudah ada sebelumnya dalam pembelajaran matematika pada pokok bahasan persamaan kuadrat.
2. Manfaat Praktis
1. Bagi Guru
Bagi guru yaitu sebagai informasi untuk mengetahui bagaimana pengaruh strategi pembelajaran siklus terhadap hasil belajar matematika siswa dalam memahami materi matematika khususnya pasa materi persamaan kuadrat.
2. Bagi Siswa
Hasil penelitian ini bermanfaat bagi siswa sebagai salah satu bahan evaluasi dan bahan penguasaan terhadap materi persamaan kuadrat yang disajikan dengan strategi pembelajaran siklus.
3. Bagi Peneliti
Bagi peneliti manfaatnya adalah dapat mengukur kemampuan siswa dalam memahami materi persamaan kuadrat setelah digunakan strategi pembelajaran siklus dan dapat mengamati perbedaan kemampuan siswa sebelum dan sesudah digunakan strategi pembelajaran siklus.
4. Bagi Lembaga
Bagi lembaga manfaatnya adalah dapat digunakan sebagai acuan dalam meningkatkan hasil belajar matematika siswa, dan dapat mengubah pola pembelajaran bagi siswa yang hasil belajarnya rendah kearah yang lebih baik.
PENERAPAN PENDEKATAN METAKOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA KELAS V SD DALAM MEMODELKAN SOAL CERITA MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN PECAHAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Pada umumnya, soal-soal yang ada pada buku paket/pegangan siswa diberikan dimulai dari yang mudah (aspek ingatan), kemudian diikuti oleh soal-soal yang mengungkapkan kemampuan pemahaman. Setelah itu, diberikan soal-soal penerapan yang mengaitkan konsep-konsep yang dibahas dengan kehidupan sehari-hari yang biasanya disajikan dalam bentuk cerita atau lebih populer disebut dengan soal cerita. Karena matematika memiliki model pembahasan, baik dengan lambang maupun dengan gambar, diagram atau grafik, maka masalah kehidupan sehari-hari atau masalah keilmuan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa matematika. Selanjutnya, karena matematika memiliki operasi dan prosedur, maka model matematika itu dapat diolah untuk mencari pemecahan dari suatu masalah.
Dalam kurikulum 2004 mata pelajaran matematika untuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah disebutkan bahwa:
Matematika berfungsi untuk mengembangkan kemampuan bernalar melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, dan eksperimen, sebagai alat pemecahan masalah melalui pola pikir dan model matematika, serta sebagai alat komunikasi melalui simbol, tabel, grafik, diagram, dalam menjelaskan gagasan.
Tujuan pembelajaran matematika adalah melatih dan menumbuhkan cara berpikir secara sistematis, logis, kritis, kreatif dan konsisten. Serta mengembangkan sikap gigih dan percaya diri sesuai dalam menyelesaikan masalah.
Salah satu cara untuk melatih dan menumbuhkan cara berpikir secara sistematis, logis, kritis, kreatif dan konsisten adalah menyelesaikan soal cerita yang menyangkut masalah kehidupan sehari-hari melalui model matematika. Melalui soal cerita, maka siswa dilatih untuk mengembangkan pola pikirnya, mengembangkan sikap gigih, dan percaya diri untuk memenuhi tujuan pembelajaran matematika dalam kurikulum 2004.
Selain itu, Nurhadi (2004: 205) mengemukakan:
Kecakapan atau kemahiran matematika yang diharapkan dapat tercapai dalam belajar matematika mulai dari SD dan MI sampai SMA dan MA adalah sebagai berikut:
1. Menunjukkan pemahaman konsep matematika yang dipelajari, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah;
2. Memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, grafik atau diagram untuk memperjelas keadaan atau masalah;
3. Menggunakan penalaran pada pola, sifat atau melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika;
4. Menunjukkan kemampuan strategik dalam membuat (merumuskan), menafsirkan, dan menyelesaikan model matematika dalam pemecahan masalah;
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan.
Melalui soal cerita, kelima kecakapan atau kemahiran matematika di atas dapat dikembangkan. Karena soal cerita bermanfaat untuk mencapai fungsi, tujuan, dan kecakapan atau kemahiran matematika, maka pemberian soal cerita kepada siswa dalam proses pembelajaran matematika dianggap perlu. Untuk itulah, diperlukan suatu pendekatan pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita.
Namun, pada kenyataannya berbagai masalah ditemui dalam pembelajaran matematika. Salah satu contoh masalah dalam pembelajaran matematika tersebut yaitu apabila sebuah pertanyaan diajukan kepada siswa: “Apa bagian yang sulit dalam pelajaran matematika?” Mungkin sebagian besar siswa akan mengangguk setuju jika disebutkan salah satu bagian yang sulit adalah menyelesaikan masalah soal cerita matematika.
Rendahnya kemampuan memodelkan soal cerita terjadi pada siswa SD. Sebagian besar siswa dapat menyelesaikan soal tetapi tidak mampu menjelaskan jawaban yang mereka berikan. Sebagian besar siswa hanya mampu mengerjakan soal yang sudah diberikan contoh penyelesaian, siswa hanya mengikuti langkah-langkah yang diberikan guru pada contoh soal. Siswa tidak dapat menjelaskan alasan dari setiap langkah yang mereka kerjakan. Proses pembelajaran yang terjadi juga masih satu arah yaitu guru sebagai pusat pembelajaran. Para siswa masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal cerita. Mereka masih sulit memahami apa yang diketahui dan ditanya dari soal. Mereka hanya mengalikan atau membagi angka-angka yang ada dalam soal, tanpa tahu mengapa bisa dikalikan maupun dibagi.
Berdasarkan observasi lapangan dan wawancara dengan salah satu guru yang mengajar matematika di SD Negeri 060818 Medan, bahwa kesulitan siswa menyelesaikan soal cerita disebabkan kesulitan siswa dalam membuat pemodelan atau representasi matematika. Sebagai contoh, di saat siswa diminta menyelesaikan soal cerita mengenai operasi hitung menggunakan perbandingan. Jika diberikan soal sebagai berikut: Perbandingan manik-manik merah dan manik-manik biru pada kalung adalah 1 : 3. Jika banyak manik-manik merah 5, berapa banyak manik-manik biru? Tanpa berpikir panjang, kebanyakan siswa menyelesaikan soal tersebut dengan langsung mengurangkan banyak manik-manik merah dengan nilai perbandingan manik-manik biru, sehingga mereka menuliskan:
Manik-manik biru = manik-manik merah – nilai perbandingan manik-manik biru
= 5 – 3 = 2
Ini merupakan penyelesaian yang salah, karena mereka belum memahami soal tersebut. Jadi, masih dibutuhkan pemahaman yang lebih untuk menyelesaikan soal cerita. Agar dapat menyelesaikan soal cerita tersebut dengan benar, maka seharusnya siswa menerapkan lima langkah mudah dalam menyelesaikan soal cerita yang dimulai dengan membaca soal, pilih informasi penting, menentukan strategi yang tepat misalnya menggunakan perbandingan, menyelesaikan masalah, dan memeriksa jawaban.
Masalah dunia real dan model matematika yang menghadirkan kesulitan siswa yaitu transisi dari dunia real ke model matematika dan sebaliknya transisi solusi model ke dunia real. Kegagalan siswa dalam pemodelan dapat diakibatkan antara lain karena siswa tidak dapat mentransformasi masalah dunia real ke model matematika, tidak mengetahui konsep-konsep matematika yang mendasari ke arah pemodelan, tidak mampu menghubungkan data dengan kaedah-kaedah matematika sehingga ditemukan suatu bentuk model matematika, atau tidak mampu menyelesaikan model matematika yang ditemukan. Permasalahan lain yang dapat mengakibatkan siswa mengalami kesulitan memahami pemodelan matematika adalah lemahnya pemahaman siswa terhadap teknik dan strategi pemecahan masalah dan proses berpikir matematis siswa yang belum kritis dan analitis.
Seorang guru biasanya menjelaskan kepada siswanya bagaimana menjawab suatu soal cerita. Dimulai dengan menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. Setelah itu dilanjutkan dengan proses penyelesaian soal. Merupakan suatu kekeliruan apabila seorang siswa yang mampu menuliskan apa yang diketahui serta apa yang ditanyakan maka siswa tersebut sudah dianggap dapat memahami masalah. Tidak sedikit siswa yang hanya mampu menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan, namun setelah itu tidak mampu berbuat apa-apa. Ini menunjukkan bahwa memahami masalah tidak cukup hanya dengan menuliskan kembali apa yang diketahui serta apa yang ditanyakan. Untuk dapat menyelesaikan soal cerita matematika dengan benar seorang siswa perlu memahami apa yang diketahui serta apa yang ditanyakan. Memahami apa yang diketahui berarti memahami informasi yang tersurat maupun yang tersirat di dalamnya. Sedangkan memahami apa yang ditanyakan berarti mengerti tentang istilah atau konsep-konsep yang berkaitan dengan yang ditanyakan. Setelah itu baru dilanjutkan dengan langkah atau proses penyelesaian.
Hal ini juga didukung tulisan Andriani diperoleh bahwa hasil penelitian Tim Pusat Pengembangan Penataran Guru Matematika di beberapa Sekolah Dasar di Indonesia mengungkapkan bahwa kesulitan siswa dalam belajar matematika yang paling menonjol adalah keterampilan berhitung yaitu 51%, penguasaan konsep dasar yaitu 50%, dan penyelesaian soal pemecahan masalah 49%. Dilanjutkan pada tahun 2002 penelitian Pusat Pengembagan Penataran Guru Matematika mengungkapkan di beberapa wilayah Indonesia yang berbeda, sebagian besar siswa SD kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah dan menerjemahkan soal kehidupan sehari-hari ke model matematika.
Untuk dapat menyelesaikan suatu masalah yang berbentuk soal cerita matematika, diperlukan suatu pendekatan. Tim MKPBM Jurusan Pendidikan Matematika (2001:95-96) mengungkapkan:
Kesuksesan sesorang dalam menyelesaikan pemecahan masalah antara lain sangat tergantung pada kesadarannya tentang apa yang mereka ketahui dan bagaimana dia melakukannya. Metakognisi adalah suatu kata yang berkaitan dengan apa yang dia ketahui tentang dirinya sebagai individu yang belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan prilakunya. Anak perlu menyadari akan kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Metakognisi adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini seseorang dimungkinkan memiliki kemampuan tinggi dalam pemecahan masalah, karena dalam setiap langkah yang dia kerjakan senantiasa muncul pertanyaan: “Apa yang saya kerjakan?”, “Mengapa saya mengerjakan ini?”, “Hal apa yang membantu saya dalam menyelesaikan masalah ini?”.
Menanamkan metakognisi kepada siswa yang berhubungan dengan kompetensi pemodelan matematika mencakup beberapa metode yang cukup logis antara lain: menanamkan ilmu pengetahuan tentang pemodelan, melakukan diskusi atau pembahasan tentang persepsi siswa yang berbeda tentang proses pemodelan di dalam kelas, mengatasi segala kesalahan-kesalahan yang dihasilkan oleh siswa dan menganalisisnya, membuat perencanaan, monitoring, dan validasi, dan membantu mereka dengan skema proses pemodelan, membandingkan dan membahas solusi yang berbeda dengan mengajukan argumen dan alasan untuk itu, dan menggambarkan contoh-contoh positif dari monitoring sendiri dalam pelajaran pemodelan, dan melakukan monitoring eksternal oleh para guru.
Cheong dan Goh (2002: 4- 5) menyebutkan ada 4 metode pembelajaran umum yang mendukung metakognisi yaitu Justification for Answers, KWL (Know Want to Learn), IDEAL (Identify, Define, Explore, Act, and Look), dan PQ4R (Preview, Question, Read, Reflect, Recite, and Review). Keempat metode pembelajaran ini biasanya digunakan untuk meningkatkan kemampuan metakognisi siswa.
Karena menyadari akan pentingnya kemampuan siswa SD untuk menyelesaikan soal cerita, maka peneliti merasa terpanggil untuk menerapkan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan siswa tersebut. Dalam menyelesaikan soal cerita, siswa dituntut untuk memahami hal-hal yang ada pada teks soal tersebut agar dapat menjawabnya dengan benar. Untuk itu, peneliti memilih salah satu metode pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam meningkatkan pemahaman membaca teks dan untuk mengembangkan metakognisi siswa dalam memodelkan soal cerita matematika yaitu PQ4R (Preview, Question, Read, Reflect, Recite, and Review). PQ4R digunakan karena melalui PQ4R kinerja memori dapat ditingkatkan dalam memahami substansi teks. Karena pada hakekatnya PQ4R merupakan penimbul pertanyaan dan tanya jawab yang dapat mendorong pembaca teks melakukan pengolahan materi secara lebih mendalam dan luas. Metode ini digunakan untuk membantu siswa mengingat apa yang mereka baca. P singkatan dari Preview (membaca selintas dengan cepat), Question (bertanya), Read (membaca), Reflect (refleksi), Recite (tanya jawab sendiri), Review (mengulang secara menyeluruh).
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, O. W. & Krathwohl, D. R. 2001. A Taxonomy For Learning, Teaching, and Assessing (A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives). New York: Addision Wesley Longman, Inc.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi. Cetakan kelima. Jakarta : Rineka Cipta.
Asrori, Mohammad. 2008. Psikologi Pembelajaran. Cetakan kedua. Bandung: CV. Wacana Prima.
________________. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Cetakan kedua. Bandung: CV. Wacana Prima.
Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Cetakan pertama. Jakarta: Rineka Cipta.
Cheong, Agnes Chang Shook & Christine C, M. Goh. 2002. Teachers’ Handbook On Teaching Generic Thinking Skills. Singapore: Prentice Hall.
Desoete, A. 2001. Off-Line Metacognition in Children with Mathematics Learning Disabilities. Faculteit Psychologies en Pedagogische Wetenschappen. Universiteit-Gent.
(https:/archive.ugent.be/retrieve/917/ 801001505476.pdf diakses 30 Oktober 2008).
Djiwandono, Sri Esti Wuryani. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Fadillah, Syarifah. 2008. Representasi Dalam Pembelajaran Matematika. (Online), (http://fadillahatick.blogspot.com/2008/06/reoresentasi-matematik.html, diakses 13 Juli 2010).
Hamson. 2003. The place of mathematical modeling in mathematics education. In S. J. Lamon, W. A. Parker & K. Houston (Eds.). Mathematical modeling: A way of life. Academic Press.
Herawati, Eti. 2004. Analisis Kemampuan Siswa Sekolah Menengah Pertama dalam Menerjemahkan Soal Cerita Ke Dalam Model Matematika dan Penyelesaiannya. Bandung: UPI.
Hergenhahn, B.R dan Matthew H. Olson. Theories of Learning (Teori Belajar). Edisi ketujuh. Cetakan kedua. Jakarta: Kencana.
Huston, Kelley. 2008. Solving a Math Story Problem Five Easy Steps for Completing Any Problem, (Online), (http://middle-school-lesson-plans.suite101.com/article.cfm/solving_a_math_story_problem, diakses 30 Oktober 2008).
Kadir. 2003. Panduan Pengajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Matematika. Cetakan Pertama. Jakarta: CV. Irfandi Putra.
Kholil, Anwar. 2008. Teori Vygotsky tentang Pentingnya Strategi Belajar, (Online), (http://anwarholil.blogspot.com./2008/04/teori-vygotsky-tentang-pentingnya.html, diakses 14 Juli 2010).
K, Abdul Hamid. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Cetakan pertama. Medan: Pascasarjana UNIMED.
Miranda, Yula. 2010. Pembelajaran Metakognitif Dalam Strategi Kooperatif Think-Pair-Share Dan Think-Pair-Share+Metakognitif Terhadap Kemampuan metakognitif Siswa Pada Biologi Di SMA Negeri Palangkaraya, (Online), (http://www.ilmupendidikan.net./2010/03/16/pembelajaran-metakognitif.php, diakses 13 Juli 2010).
Nindiasari, Hepsi. 2004. Pembelajaran Metakognitif Untuk Meningkatkan Pemahaman dan Koneksi Matematik Siswa SMU Ditinjau Dari Perkembangan Kognitif Siswa. Bandung: UPI.
Nurhadi. 2004. Kurikulum 2004 Pertanyaan dan Jawaban. Jakarta: PT. Grasindo.
O’Neil Jr, H. F. & Brown, R.S. 1997. Differential Effects of Question Formats in Math Assessment on Metacognition and Affect. Los Angeles: CRESST-CSE University of California.
Parlaungan. 2008. Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Medan: USU.
Shoenfeld, A. H. 1992. Learning To Think Mathematically: Problem Solving, Metacognition, And Sense-Making In Mathematics. Handbook for Research on Mathematics Teaching and Learning (D. Grouws, Ed.). New York: MacMillan.
(http://myschoolnet.ppk.kpm.my/bcb8.pdf, diakses 30 Oktober 2008).
Sudijono, Anas. 2005. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Edisi Pertama. Cetakan kelima. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Sumiati & Asra. 2008. Metode Pembelajaran. Cetakan kedua. Bandung: CV. Wacana Prima.
Supardjo. 2007. Model Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Matematika Gemar Berhitung 5B untuk Kelas V SD dan MI Semester 2. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Suryabrata, Sumadi. 2008. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Suzanna, Yenny. 2004. Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif. Bandung: UPI.
Syah, Muhibbin. 2001. Psikologi Belajar. Cetakan ketiga. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
Tim MKPBM Jurusan Pendidikan Matematika. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA.
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian III: Pendidikan Disiplin Ilmu. Cetakan kedua. Bandung: PT. Intima.
Uno, Hamzah B. 2006. Perencanaan Pembelajaran. Cetakan Pertama. Jakarta: Bumi Aksara.
Walle, John A. Van De. 2008. Matematika Sekolah Dasar dan Menengah Pengembangan Pengajaran Jilid 1. Edisi keenam. Jakarta: Erlangga.
Yulaelawati, Ella. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran Filosofi Teori dan Aplikasi. Bandung: Pakar Raya.
Langkah-langkah penerapan PQ4R mengikuti urutan nama-nama tersebut, yaitu: (1) Preview adalah tugas membaca dengan cepat dengan memperhatikan judul-judul dan topik utama, baca tujuan umum dan rangkuman, dan rumuskan isi bacaan tersebut membahas tentang apa, (2) Question adalah mendalami topik dan judul utama dengan mangajukan pertanyaan yang jawabannya dapat ditemukan di dalam bacaan tersebut, kemudian mencoba menjawabnya sendiri, (3) Read adalah tugas membaca bahan bacaan secara cermat, dengan mengecek jawaban yang diajukan pada langkah kedua, (4) Reflect adalah melakukan refleksi sambil membaca dengan cara menciptakan gambaran visual dari bacaan dan mengubungkan informasi baru di dalam bacaan tentang apa yang telah diketahui, (5) Recite adalah melakukan resitasi dengan menjawab dengan suara keras pertanyaan yang ajukan tanpa membuka buku, dan (6) Review adalah langkah untuk mengulang kembali seluruh bacaan, baca ulang bila perlu, dan sekali lagi jawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Peneliti memilih pokok bahasan pecahan. Peneliti memilih pokok bahasan ini karena siswa selalu menemui hal-hal yang berhubungan dengan pecahan dalam kehidupan sehari-hari. Sewaktu siswa mengembangkan pemahaman mereka mengenai pecahan, mereka bisa dan sebaiknya secara terus menerus mengembangkan penguasaan pecahan dan cara-cara untuk memikirkan kombinasi tentang fakta-fakta dasar. Soal cerita mengenai pecahan juga merupakan metode yang bisa digunakan untuk mengembangkan keterampilan komputasi.
Karena dilatarbelakangi hal-hal di atas, maka peneliti peneliti akan melakukan penelitian dengan judul “PENERAPAN PENDEKATAN METAKOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA KELAS V SD DALAM MEMODELKAN SOAL CERITA MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN PECAHAN”.
1.2. IDENTIFIKASI MASALAH
Berbagai masalah ditemui dalam pembelajaran matematika di tingkat Sekolah Dasar. Karena pentingnya penguasaan matematika yang kuat sejak dini, maka perlu diupayakan penanggulangan masalah-masalah tersebut sejak dini pula. Masalah yang ditemui dalam pembelajaran matematika di tingkat Sekolah Dasar antara lain dalam pembelajaran soal cerita. Adapun masalah-masalah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Kemampuan siswa kelas V SD dalam menyelesaikan masalah matematika masih rendah karena kurangnya pemahaman siswa tentang masalah matematika tersebut.
2. Kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika masih rendah.
3. Hasil belajar matematika siswa kelas V SD masih rendah.
4. Siswa kelas V SD belum mampu mengoptimalkan dan meningkatkan kemampuan metakognisinya dalam belajar matematika.
5. Pembelajaran matematika yang diterapkan selama ini masih belum memadai.
6. Kurangnya pengembangan dan penerapan pendekatan metakognitif dalam pembelajaran matematika.
7. Pengembangan pendekatan metakognitif untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika.
8. Penerapan pendekatan metakognitif untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika.
1.3. PEMBATASAN MASALAH
Pentingnya upaya untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut, agar dapat terselesaikan dengan baik, maka peneliti merasa perlu untuk membatasi masalah yang akan diteliti. Dari berbagai masalah di atas, maka masalah yang akan diteliti dibatasi pada:
1. Kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika. Kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika merupakan aktivitas menerjemahkan kalimat cerita menjadi persamaan, pertidaksamaan, atau fungsi maupun membuat model berupa diagram. Adapun pokok bahasan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pecahan.
2. Penerapan pendekatan metakognitif untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika. Pada aspek penerapan pendekatan metakognitif ditinjau dari tahap adaptasi dan penerapan tindakan. Pada tahap adaptasi ini, siswa akan diperkenalkan dengan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan metakognitif PQ4R, dan dilanjutkan dengan penerapan tindakan.
1.4. RUMUSAN MASALAH
Perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:
1. Apakah penerapan pendekatan metakognitif PQ4R dapat digunakan untuk mengungkapkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan?
2. Apakah terdapat peningkatan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan melalui penerapan pendekatan metakognitif PQ4R?
1.5. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti antara lain:
1. Untuk mengidentifikasi penerapan pendekatan metakognitif PQ4R dalam mengungkapkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan.
2. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan melalui penerapan pendekatan metakognitif PQ4R.
1.6. MANFAAT PENELITIAN
Hasil dari pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas ini akan memberikan manfaat yang berarti bagi perorangan/institusi di bawah ini:
1. Bagi guru: dengan dilaksanakannya penelitian tindakan kelas ini, guru dapat sedikit demi sedikit mengetahui pendekatan pembelajaran yang bervariasi khususnya pendekatan metakognitif PQ4R untuk memperbaiki dan meningkatkan sistem pembelajaran di kelas, serta meningkatkan kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika.
2. Bagi siswa: hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi siswa untuk meningkatkan kemampuan metakognisinya dan kemampuannya dalam memodelkan soal cerita matematika.
3. Bagi sekolah: hasil penelitian ini akan memberikan sumbangan yang baik pada sekolah dalam rangka perbaikan pembelajaran.
4. Bagi mahasiswa calon guru: hasil penelitian ini akan memberikan masukan dan sumbangan informasi mengenai pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan di lapangan.
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Pada umumnya, soal-soal yang ada pada buku paket/pegangan siswa diberikan dimulai dari yang mudah (aspek ingatan), kemudian diikuti oleh soal-soal yang mengungkapkan kemampuan pemahaman. Setelah itu, diberikan soal-soal penerapan yang mengaitkan konsep-konsep yang dibahas dengan kehidupan sehari-hari yang biasanya disajikan dalam bentuk cerita atau lebih populer disebut dengan soal cerita. Karena matematika memiliki model pembahasan, baik dengan lambang maupun dengan gambar, diagram atau grafik, maka masalah kehidupan sehari-hari atau masalah keilmuan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa matematika. Selanjutnya, karena matematika memiliki operasi dan prosedur, maka model matematika itu dapat diolah untuk mencari pemecahan dari suatu masalah.
Dalam kurikulum 2004 mata pelajaran matematika untuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah disebutkan bahwa:
Matematika berfungsi untuk mengembangkan kemampuan bernalar melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, dan eksperimen, sebagai alat pemecahan masalah melalui pola pikir dan model matematika, serta sebagai alat komunikasi melalui simbol, tabel, grafik, diagram, dalam menjelaskan gagasan.
Tujuan pembelajaran matematika adalah melatih dan menumbuhkan cara berpikir secara sistematis, logis, kritis, kreatif dan konsisten. Serta mengembangkan sikap gigih dan percaya diri sesuai dalam menyelesaikan masalah.
Salah satu cara untuk melatih dan menumbuhkan cara berpikir secara sistematis, logis, kritis, kreatif dan konsisten adalah menyelesaikan soal cerita yang menyangkut masalah kehidupan sehari-hari melalui model matematika. Melalui soal cerita, maka siswa dilatih untuk mengembangkan pola pikirnya, mengembangkan sikap gigih, dan percaya diri untuk memenuhi tujuan pembelajaran matematika dalam kurikulum 2004.
Selain itu, Nurhadi (2004: 205) mengemukakan:
Kecakapan atau kemahiran matematika yang diharapkan dapat tercapai dalam belajar matematika mulai dari SD dan MI sampai SMA dan MA adalah sebagai berikut:
1. Menunjukkan pemahaman konsep matematika yang dipelajari, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah;
2. Memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, grafik atau diagram untuk memperjelas keadaan atau masalah;
3. Menggunakan penalaran pada pola, sifat atau melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika;
4. Menunjukkan kemampuan strategik dalam membuat (merumuskan), menafsirkan, dan menyelesaikan model matematika dalam pemecahan masalah;
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan.
Melalui soal cerita, kelima kecakapan atau kemahiran matematika di atas dapat dikembangkan. Karena soal cerita bermanfaat untuk mencapai fungsi, tujuan, dan kecakapan atau kemahiran matematika, maka pemberian soal cerita kepada siswa dalam proses pembelajaran matematika dianggap perlu. Untuk itulah, diperlukan suatu pendekatan pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita.
Namun, pada kenyataannya berbagai masalah ditemui dalam pembelajaran matematika. Salah satu contoh masalah dalam pembelajaran matematika tersebut yaitu apabila sebuah pertanyaan diajukan kepada siswa: “Apa bagian yang sulit dalam pelajaran matematika?” Mungkin sebagian besar siswa akan mengangguk setuju jika disebutkan salah satu bagian yang sulit adalah menyelesaikan masalah soal cerita matematika.
Rendahnya kemampuan memodelkan soal cerita terjadi pada siswa SD. Sebagian besar siswa dapat menyelesaikan soal tetapi tidak mampu menjelaskan jawaban yang mereka berikan. Sebagian besar siswa hanya mampu mengerjakan soal yang sudah diberikan contoh penyelesaian, siswa hanya mengikuti langkah-langkah yang diberikan guru pada contoh soal. Siswa tidak dapat menjelaskan alasan dari setiap langkah yang mereka kerjakan. Proses pembelajaran yang terjadi juga masih satu arah yaitu guru sebagai pusat pembelajaran. Para siswa masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal cerita. Mereka masih sulit memahami apa yang diketahui dan ditanya dari soal. Mereka hanya mengalikan atau membagi angka-angka yang ada dalam soal, tanpa tahu mengapa bisa dikalikan maupun dibagi.
Berdasarkan observasi lapangan dan wawancara dengan salah satu guru yang mengajar matematika di SD Negeri 060818 Medan, bahwa kesulitan siswa menyelesaikan soal cerita disebabkan kesulitan siswa dalam membuat pemodelan atau representasi matematika. Sebagai contoh, di saat siswa diminta menyelesaikan soal cerita mengenai operasi hitung menggunakan perbandingan. Jika diberikan soal sebagai berikut: Perbandingan manik-manik merah dan manik-manik biru pada kalung adalah 1 : 3. Jika banyak manik-manik merah 5, berapa banyak manik-manik biru? Tanpa berpikir panjang, kebanyakan siswa menyelesaikan soal tersebut dengan langsung mengurangkan banyak manik-manik merah dengan nilai perbandingan manik-manik biru, sehingga mereka menuliskan:
Manik-manik biru = manik-manik merah – nilai perbandingan manik-manik biru
= 5 – 3 = 2
Ini merupakan penyelesaian yang salah, karena mereka belum memahami soal tersebut. Jadi, masih dibutuhkan pemahaman yang lebih untuk menyelesaikan soal cerita. Agar dapat menyelesaikan soal cerita tersebut dengan benar, maka seharusnya siswa menerapkan lima langkah mudah dalam menyelesaikan soal cerita yang dimulai dengan membaca soal, pilih informasi penting, menentukan strategi yang tepat misalnya menggunakan perbandingan, menyelesaikan masalah, dan memeriksa jawaban.
Masalah dunia real dan model matematika yang menghadirkan kesulitan siswa yaitu transisi dari dunia real ke model matematika dan sebaliknya transisi solusi model ke dunia real. Kegagalan siswa dalam pemodelan dapat diakibatkan antara lain karena siswa tidak dapat mentransformasi masalah dunia real ke model matematika, tidak mengetahui konsep-konsep matematika yang mendasari ke arah pemodelan, tidak mampu menghubungkan data dengan kaedah-kaedah matematika sehingga ditemukan suatu bentuk model matematika, atau tidak mampu menyelesaikan model matematika yang ditemukan. Permasalahan lain yang dapat mengakibatkan siswa mengalami kesulitan memahami pemodelan matematika adalah lemahnya pemahaman siswa terhadap teknik dan strategi pemecahan masalah dan proses berpikir matematis siswa yang belum kritis dan analitis.
Seorang guru biasanya menjelaskan kepada siswanya bagaimana menjawab suatu soal cerita. Dimulai dengan menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. Setelah itu dilanjutkan dengan proses penyelesaian soal. Merupakan suatu kekeliruan apabila seorang siswa yang mampu menuliskan apa yang diketahui serta apa yang ditanyakan maka siswa tersebut sudah dianggap dapat memahami masalah. Tidak sedikit siswa yang hanya mampu menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan, namun setelah itu tidak mampu berbuat apa-apa. Ini menunjukkan bahwa memahami masalah tidak cukup hanya dengan menuliskan kembali apa yang diketahui serta apa yang ditanyakan. Untuk dapat menyelesaikan soal cerita matematika dengan benar seorang siswa perlu memahami apa yang diketahui serta apa yang ditanyakan. Memahami apa yang diketahui berarti memahami informasi yang tersurat maupun yang tersirat di dalamnya. Sedangkan memahami apa yang ditanyakan berarti mengerti tentang istilah atau konsep-konsep yang berkaitan dengan yang ditanyakan. Setelah itu baru dilanjutkan dengan langkah atau proses penyelesaian.
Hal ini juga didukung tulisan Andriani diperoleh bahwa hasil penelitian Tim Pusat Pengembangan Penataran Guru Matematika di beberapa Sekolah Dasar di Indonesia mengungkapkan bahwa kesulitan siswa dalam belajar matematika yang paling menonjol adalah keterampilan berhitung yaitu 51%, penguasaan konsep dasar yaitu 50%, dan penyelesaian soal pemecahan masalah 49%. Dilanjutkan pada tahun 2002 penelitian Pusat Pengembagan Penataran Guru Matematika mengungkapkan di beberapa wilayah Indonesia yang berbeda, sebagian besar siswa SD kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah dan menerjemahkan soal kehidupan sehari-hari ke model matematika.
Untuk dapat menyelesaikan suatu masalah yang berbentuk soal cerita matematika, diperlukan suatu pendekatan. Tim MKPBM Jurusan Pendidikan Matematika (2001:95-96) mengungkapkan:
Kesuksesan sesorang dalam menyelesaikan pemecahan masalah antara lain sangat tergantung pada kesadarannya tentang apa yang mereka ketahui dan bagaimana dia melakukannya. Metakognisi adalah suatu kata yang berkaitan dengan apa yang dia ketahui tentang dirinya sebagai individu yang belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan prilakunya. Anak perlu menyadari akan kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Metakognisi adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini seseorang dimungkinkan memiliki kemampuan tinggi dalam pemecahan masalah, karena dalam setiap langkah yang dia kerjakan senantiasa muncul pertanyaan: “Apa yang saya kerjakan?”, “Mengapa saya mengerjakan ini?”, “Hal apa yang membantu saya dalam menyelesaikan masalah ini?”.
Menanamkan metakognisi kepada siswa yang berhubungan dengan kompetensi pemodelan matematika mencakup beberapa metode yang cukup logis antara lain: menanamkan ilmu pengetahuan tentang pemodelan, melakukan diskusi atau pembahasan tentang persepsi siswa yang berbeda tentang proses pemodelan di dalam kelas, mengatasi segala kesalahan-kesalahan yang dihasilkan oleh siswa dan menganalisisnya, membuat perencanaan, monitoring, dan validasi, dan membantu mereka dengan skema proses pemodelan, membandingkan dan membahas solusi yang berbeda dengan mengajukan argumen dan alasan untuk itu, dan menggambarkan contoh-contoh positif dari monitoring sendiri dalam pelajaran pemodelan, dan melakukan monitoring eksternal oleh para guru.
Cheong dan Goh (2002: 4- 5) menyebutkan ada 4 metode pembelajaran umum yang mendukung metakognisi yaitu Justification for Answers, KWL (Know Want to Learn), IDEAL (Identify, Define, Explore, Act, and Look), dan PQ4R (Preview, Question, Read, Reflect, Recite, and Review). Keempat metode pembelajaran ini biasanya digunakan untuk meningkatkan kemampuan metakognisi siswa.
Karena menyadari akan pentingnya kemampuan siswa SD untuk menyelesaikan soal cerita, maka peneliti merasa terpanggil untuk menerapkan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan siswa tersebut. Dalam menyelesaikan soal cerita, siswa dituntut untuk memahami hal-hal yang ada pada teks soal tersebut agar dapat menjawabnya dengan benar. Untuk itu, peneliti memilih salah satu metode pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam meningkatkan pemahaman membaca teks dan untuk mengembangkan metakognisi siswa dalam memodelkan soal cerita matematika yaitu PQ4R (Preview, Question, Read, Reflect, Recite, and Review). PQ4R digunakan karena melalui PQ4R kinerja memori dapat ditingkatkan dalam memahami substansi teks. Karena pada hakekatnya PQ4R merupakan penimbul pertanyaan dan tanya jawab yang dapat mendorong pembaca teks melakukan pengolahan materi secara lebih mendalam dan luas. Metode ini digunakan untuk membantu siswa mengingat apa yang mereka baca. P singkatan dari Preview (membaca selintas dengan cepat), Question (bertanya), Read (membaca), Reflect (refleksi), Recite (tanya jawab sendiri), Review (mengulang secara menyeluruh).
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, O. W. & Krathwohl, D. R. 2001. A Taxonomy For Learning, Teaching, and Assessing (A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives). New York: Addision Wesley Longman, Inc.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi. Cetakan kelima. Jakarta : Rineka Cipta.
Asrori, Mohammad. 2008. Psikologi Pembelajaran. Cetakan kedua. Bandung: CV. Wacana Prima.
________________. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Cetakan kedua. Bandung: CV. Wacana Prima.
Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Cetakan pertama. Jakarta: Rineka Cipta.
Cheong, Agnes Chang Shook & Christine C, M. Goh. 2002. Teachers’ Handbook On Teaching Generic Thinking Skills. Singapore: Prentice Hall.
Desoete, A. 2001. Off-Line Metacognition in Children with Mathematics Learning Disabilities. Faculteit Psychologies en Pedagogische Wetenschappen. Universiteit-Gent.
(https:/archive.ugent.be/retrieve/917/ 801001505476.pdf diakses 30 Oktober 2008).
Djiwandono, Sri Esti Wuryani. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Fadillah, Syarifah. 2008. Representasi Dalam Pembelajaran Matematika. (Online), (http://fadillahatick.blogspot.com/2008/06/reoresentasi-matematik.html, diakses 13 Juli 2010).
Hamson. 2003. The place of mathematical modeling in mathematics education. In S. J. Lamon, W. A. Parker & K. Houston (Eds.). Mathematical modeling: A way of life. Academic Press.
Herawati, Eti. 2004. Analisis Kemampuan Siswa Sekolah Menengah Pertama dalam Menerjemahkan Soal Cerita Ke Dalam Model Matematika dan Penyelesaiannya. Bandung: UPI.
Hergenhahn, B.R dan Matthew H. Olson. Theories of Learning (Teori Belajar). Edisi ketujuh. Cetakan kedua. Jakarta: Kencana.
Huston, Kelley. 2008. Solving a Math Story Problem Five Easy Steps for Completing Any Problem, (Online), (http://middle-school-lesson-plans.suite101.com/article.cfm/solving_a_math_story_problem, diakses 30 Oktober 2008).
Kadir. 2003. Panduan Pengajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Matematika. Cetakan Pertama. Jakarta: CV. Irfandi Putra.
Kholil, Anwar. 2008. Teori Vygotsky tentang Pentingnya Strategi Belajar, (Online), (http://anwarholil.blogspot.com./2008/04/teori-vygotsky-tentang-pentingnya.html, diakses 14 Juli 2010).
K, Abdul Hamid. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Cetakan pertama. Medan: Pascasarjana UNIMED.
Miranda, Yula. 2010. Pembelajaran Metakognitif Dalam Strategi Kooperatif Think-Pair-Share Dan Think-Pair-Share+Metakognitif Terhadap Kemampuan metakognitif Siswa Pada Biologi Di SMA Negeri Palangkaraya, (Online), (http://www.ilmupendidikan.net./2010/03/16/pembelajaran-metakognitif.php, diakses 13 Juli 2010).
Nindiasari, Hepsi. 2004. Pembelajaran Metakognitif Untuk Meningkatkan Pemahaman dan Koneksi Matematik Siswa SMU Ditinjau Dari Perkembangan Kognitif Siswa. Bandung: UPI.
Nurhadi. 2004. Kurikulum 2004 Pertanyaan dan Jawaban. Jakarta: PT. Grasindo.
O’Neil Jr, H. F. & Brown, R.S. 1997. Differential Effects of Question Formats in Math Assessment on Metacognition and Affect. Los Angeles: CRESST-CSE University of California.
Parlaungan. 2008. Pemodelan Matematika Untuk Peningkatan Bermatematika Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Medan: USU.
Shoenfeld, A. H. 1992. Learning To Think Mathematically: Problem Solving, Metacognition, And Sense-Making In Mathematics. Handbook for Research on Mathematics Teaching and Learning (D. Grouws, Ed.). New York: MacMillan.
(http://myschoolnet.ppk.kpm.my/bcb8.pdf, diakses 30 Oktober 2008).
Sudijono, Anas. 2005. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Edisi Pertama. Cetakan kelima. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Sumiati & Asra. 2008. Metode Pembelajaran. Cetakan kedua. Bandung: CV. Wacana Prima.
Supardjo. 2007. Model Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Matematika Gemar Berhitung 5B untuk Kelas V SD dan MI Semester 2. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Suryabrata, Sumadi. 2008. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Suzanna, Yenny. 2004. Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif. Bandung: UPI.
Syah, Muhibbin. 2001. Psikologi Belajar. Cetakan ketiga. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
Tim MKPBM Jurusan Pendidikan Matematika. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA.
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian III: Pendidikan Disiplin Ilmu. Cetakan kedua. Bandung: PT. Intima.
Uno, Hamzah B. 2006. Perencanaan Pembelajaran. Cetakan Pertama. Jakarta: Bumi Aksara.
Walle, John A. Van De. 2008. Matematika Sekolah Dasar dan Menengah Pengembangan Pengajaran Jilid 1. Edisi keenam. Jakarta: Erlangga.
Yulaelawati, Ella. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran Filosofi Teori dan Aplikasi. Bandung: Pakar Raya.
Langkah-langkah penerapan PQ4R mengikuti urutan nama-nama tersebut, yaitu: (1) Preview adalah tugas membaca dengan cepat dengan memperhatikan judul-judul dan topik utama, baca tujuan umum dan rangkuman, dan rumuskan isi bacaan tersebut membahas tentang apa, (2) Question adalah mendalami topik dan judul utama dengan mangajukan pertanyaan yang jawabannya dapat ditemukan di dalam bacaan tersebut, kemudian mencoba menjawabnya sendiri, (3) Read adalah tugas membaca bahan bacaan secara cermat, dengan mengecek jawaban yang diajukan pada langkah kedua, (4) Reflect adalah melakukan refleksi sambil membaca dengan cara menciptakan gambaran visual dari bacaan dan mengubungkan informasi baru di dalam bacaan tentang apa yang telah diketahui, (5) Recite adalah melakukan resitasi dengan menjawab dengan suara keras pertanyaan yang ajukan tanpa membuka buku, dan (6) Review adalah langkah untuk mengulang kembali seluruh bacaan, baca ulang bila perlu, dan sekali lagi jawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Peneliti memilih pokok bahasan pecahan. Peneliti memilih pokok bahasan ini karena siswa selalu menemui hal-hal yang berhubungan dengan pecahan dalam kehidupan sehari-hari. Sewaktu siswa mengembangkan pemahaman mereka mengenai pecahan, mereka bisa dan sebaiknya secara terus menerus mengembangkan penguasaan pecahan dan cara-cara untuk memikirkan kombinasi tentang fakta-fakta dasar. Soal cerita mengenai pecahan juga merupakan metode yang bisa digunakan untuk mengembangkan keterampilan komputasi.
Karena dilatarbelakangi hal-hal di atas, maka peneliti peneliti akan melakukan penelitian dengan judul “PENERAPAN PENDEKATAN METAKOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA KELAS V SD DALAM MEMODELKAN SOAL CERITA MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN PECAHAN”.
1.2. IDENTIFIKASI MASALAH
Berbagai masalah ditemui dalam pembelajaran matematika di tingkat Sekolah Dasar. Karena pentingnya penguasaan matematika yang kuat sejak dini, maka perlu diupayakan penanggulangan masalah-masalah tersebut sejak dini pula. Masalah yang ditemui dalam pembelajaran matematika di tingkat Sekolah Dasar antara lain dalam pembelajaran soal cerita. Adapun masalah-masalah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Kemampuan siswa kelas V SD dalam menyelesaikan masalah matematika masih rendah karena kurangnya pemahaman siswa tentang masalah matematika tersebut.
2. Kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika masih rendah.
3. Hasil belajar matematika siswa kelas V SD masih rendah.
4. Siswa kelas V SD belum mampu mengoptimalkan dan meningkatkan kemampuan metakognisinya dalam belajar matematika.
5. Pembelajaran matematika yang diterapkan selama ini masih belum memadai.
6. Kurangnya pengembangan dan penerapan pendekatan metakognitif dalam pembelajaran matematika.
7. Pengembangan pendekatan metakognitif untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika.
8. Penerapan pendekatan metakognitif untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika.
1.3. PEMBATASAN MASALAH
Pentingnya upaya untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut, agar dapat terselesaikan dengan baik, maka peneliti merasa perlu untuk membatasi masalah yang akan diteliti. Dari berbagai masalah di atas, maka masalah yang akan diteliti dibatasi pada:
1. Kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika. Kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika merupakan aktivitas menerjemahkan kalimat cerita menjadi persamaan, pertidaksamaan, atau fungsi maupun membuat model berupa diagram. Adapun pokok bahasan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pecahan.
2. Penerapan pendekatan metakognitif untuk meningkatkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika. Pada aspek penerapan pendekatan metakognitif ditinjau dari tahap adaptasi dan penerapan tindakan. Pada tahap adaptasi ini, siswa akan diperkenalkan dengan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan metakognitif PQ4R, dan dilanjutkan dengan penerapan tindakan.
1.4. RUMUSAN MASALAH
Perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:
1. Apakah penerapan pendekatan metakognitif PQ4R dapat digunakan untuk mengungkapkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan?
2. Apakah terdapat peningkatan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan melalui penerapan pendekatan metakognitif PQ4R?
1.5. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti antara lain:
1. Untuk mengidentifikasi penerapan pendekatan metakognitif PQ4R dalam mengungkapkan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan.
2. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan siswa kelas V SD dalam memodelkan soal cerita matematika pada pokok bahasan pecahan melalui penerapan pendekatan metakognitif PQ4R.
1.6. MANFAAT PENELITIAN
Hasil dari pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas ini akan memberikan manfaat yang berarti bagi perorangan/institusi di bawah ini:
1. Bagi guru: dengan dilaksanakannya penelitian tindakan kelas ini, guru dapat sedikit demi sedikit mengetahui pendekatan pembelajaran yang bervariasi khususnya pendekatan metakognitif PQ4R untuk memperbaiki dan meningkatkan sistem pembelajaran di kelas, serta meningkatkan kemampuan siswa dalam memodelkan soal cerita matematika.
2. Bagi siswa: hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi siswa untuk meningkatkan kemampuan metakognisinya dan kemampuannya dalam memodelkan soal cerita matematika.
3. Bagi sekolah: hasil penelitian ini akan memberikan sumbangan yang baik pada sekolah dalam rangka perbaikan pembelajaran.
4. Bagi mahasiswa calon guru: hasil penelitian ini akan memberikan masukan dan sumbangan informasi mengenai pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan di lapangan.
hukum pacaran dalam pandangan islam
HUKUM PACARAN MENURUT ISLAM (penjelasan mengenai sebab diharamkannya pacaran)
Istilah pacaran itu sebenarnya bukan bahasa hukum, karena pengertian dan batasannya tidak sama buat setiap orang. Dan sangat mungkin berbeda dalam setiap budaya. Karena itu kami tidak akan menggunakan istilah `pacaran` dalam masalah ini, agar tidak salah konotasi.
I. Tujuan Pacaran
Ada beragam tujuan orang berpacaran. Ada yang sekedar iseng, atau mencari teman bicara, atau lebih jauh untuk tempat mencurahkan isi hati. Dan bahkan ada juga yang memang menjadikan masa pacaran sebagai masa perkenalan dan penjajakan dalam menempuh jenjang pernikahan.
Namun tidak semua bentuk pacaran itu bertujuan kepada jenjang pernikahan. Banyak diantara pemuda dan pemudi yang lebih terdorong oleh rasa ketertarikan semata, sebab dari sisi kedewasaan, usia, kemampuan finansial dan persiapan lainnya dalam membentuk rumah tangga, mereka sangat belum siap.
Secara lebih khusus, ada yang menganggap bahwa masa pacaran itu sebagai masa penjajakan, media perkenalan sisi yang lebih dalam serta mencari kecocokan antar keduanya. Semua itu dilakukan karena nantinya mereka akan membentuk rumah tangga. Dengan tujuan itu, sebagian norma di tengah masyarakat membolehkan pacaran. Paling tidak dengan cara membiarkan pasangan yang sedang pacaran itu melakukan aktifitasnya. Maka istilah apel malam minggu menjadi fenomena yang wajar dan dianggap sebagai bagian dari aktifitas yang normal.
II. Apa Yang Dilakukan Saat Pacaran ?
Lepas dari tujuan, secara umum pada saat berpacaran banyak terjadi hal-hal yang diluar dugaan. Bahkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa aktifitas pacaran pelajar dan mahasiswa sekarang ini cenderung sampai kepada level yang sangat jauh. Bukan sekedar kencan, jalan-jalan dan berduaan, tetapi data menunjukkan bahwa ciuman, rabaan anggota tubuh dan bersetubuh secara langsung sudah merupakan hal yang biasa terjadi.
Sehingga kita juga sering mendengar istilah “chek-in”, yang awalnya adalah istilah dalam dunia perhotelan untuk menginap. Namun tidak sedikit hotel yang pada hari ini berali berfungsi sebagai tempat untuk berzina pasangan pelajar dan mahasiswa, juga pasanga-pasangan tidak syah lainnya. Bahkan hal ini sudah menjadi bagian dari lahan pemasukan tersendiri buat beberapa hotel dengan memberi kesempatan chek-in secara short time, yaitu kamar yang disewakan secara jam-jaman untuk ruangan berzina bagi para pasangan di luar nikah.
Pihak pengelola hotel sama sekali tidak mempedulikan apakah pasangan yang melakukan chek-in itu suami istri atau bulan, sebab hal itu dianggap sebagai hak asasi setiap orang.
Selain di hotel, aktifitas percumbuan dan hubungan seksual di luar nikah juga sering dilakukan di dalam rumah sendiri, yaitu memanfaatkan kesibukan kedua orang tua. Maka para pelajar dan mahasiswa bisa lebih bebas melakukan hubungan seksual di luar nikah di dalam rumah mereka sendiri tanpa kecurigaan, pengawasan dan perhatian dari anggota keluarga lainnya.
Data menunjukkan bahwa seks di luar nikah itu sudah dilakukan bukan hanya oleh pasangan mahasiswa dan orang dewasa, namun anak-anak pelajar menengah atas (SLTA) dan menengah pertama (SLTP) juga terbiasa melakukannya. Pola budaya yang permisif (serba boleh) telah menjadikan hubungan pacaran sebagai legalisasi kesempatan berzina. Dan terbukti dengan maraknya kasus `hamil di luar nikah` dan aborsi ilegal.
Fakta dan data lebih jujur berbicara kepada kita ketimbang apologi. Maka jelaslah bahwa praktek pacaran pelajar dan mahasiswa sangat rentan dengan perilaku zina yang oleh sistem hukum di negeri ini sama sekali tidak dilarang. Sebab buat sistem hukum sekuluer warisan penjajah, zina adalah hak asasi yang harus dilindungi. Sepasang pelajar atau mahasiswa yang berzina, tidak bisa dituntut secara hukum. Bahkan bila seks bebas itu menghasilkan hukuman dari Allah berupa AIDS, para pelakunya justru akan diberi simpati.
III. Pacaran Dalam Pandangan Islam
a. Islam Mengakui Rasa Cinta
Islam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa. Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya.
`Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik .`(QS. Ali Imran :14).
Khusus kepada wanita, Islam menganjurkan untuk mewujudkan rasa cinta itu dengan perlakuan yang baik, bijaksana, jujur, ramah dan yang paling penting dari semua itu adalah penuh dengan tanggung-jawab. Sehingga bila seseorang mencintai wanita, maka menjadi kewajibannya untuk memperlakukannya dengan cara yang paling baik.
Rasulullah SAW bersabda,`Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap pasangannya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap istriku`.
b. Cinta Kepada Lain Jenis Hanya Ada Dalam Wujud Ikatan Formal
Namun dalam konsep Islam, cinta kepada lain jenis itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas. Sebelum adanya ikatan itu, maka pada hakikatnya bukan sebuah cinta, melainkan nafsu syahwat dan ketertarikan sesaat.
Sebab cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan sejenisnya. Tapi cinta sejati haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan tanggung-jawab yang disaksikan oleh orang banyak.
Bahkan lebih `keren`nya, ucapan janji itu tidaklah ditujukan kepada pasangan, melainkan kepada ayah kandung wanita itu. Maka seorang laki-laki yang bertanggung-jawab akan berikrar dan melakukan ikatan untuk menjadikan wanita itu sebagai orang yang menjadi pendamping hidupnya, mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya dan menjadi `pelindung` dan `pengayomnya`. Bahkan `mengambil alih` kepemimpinannya dari bahu sang ayah ke atas bahunya.
Dengan ikatan itu, jadilah seorang laki-laki itu `laki-laki sejati`. Karena dia telah menjadi suami dari seorang wanita. Dan hanya ikatan inilah yang bisa memastikan apakah seorang laki-laki itu betul serorang gentlemen atau sekedar kelas laki-laki iseng tanpa nyali. Beraninya hanya menikmati sensasi seksual, tapi tidak siap menjadi “the real man”.
Dalam Islam, hanya hubungan suami istri sajalah yang membolehkan terjadinya kontak-kontak yang mengarah kepada birahi. Baik itu sentuhan, pegangan, cium dan juga seks. Sedangkan di luar nikah, Islam tidak pernah membenarkan semua itu. Akhlaq ini sebenarnya bukan hanya monopoli agama Islam saja, tapi hampir semua agama mengharamkan perzinaan. Apalagi agama Kristen yang dulunya adalah agama Islam juga, namun karena terjadi penyimpangan besar sampai masalah sendi yang paling pokok, akhirnya tidak pernah terdengar kejelasan agama ini mengharamkan zina dan perbuatan yang menyerampet kesana.
Sedangkan pemandangan yang kita lihat dimana ada orang Islam yang melakukan praktek pacaran dengan pegang-pegangan, ini menunjukkan bahwa umumnya manusia memang telah terlalu jauh dari agama. Karena praktek itu bukan hanya terjadi pada masyarakat Islam yang nota bene masih sangat kental dengan keaslian agamanya, tapi masyakat dunia ini memang benar-benar telah dilanda degradasi agama.
Barat yang mayoritas nasrani justru merupakan sumber dari hedonisme dan permisifisme ini. Sehingga kalau pemandangan buruk itu terjadi juga pada sebagian pemuda-pemudi Islam, tentu kita tidak melihat dari satu sudut pandang saja. Tapi lihatlah bahwa kemerosotan moral ini juga terjadi pada agama lain, bahkan justru lebih parah.
c. Pacaran Bukan Cinta
Melihat kecenderungan aktifitas pasangan muda yang berpacaran, sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa pacaran itu adalah media untuk saling mencinta satu sama lain. Sebab sebuah cinta sejati tidak berbentuk sebuah perkenalan singkat, misalnya dengan bertemu di suatu kesempatan tertentu lalu saling bertelepon, tukar menukar SMS, chatting dan diteruskan dengan janji bertemu langsung.
Semua bentuk aktifitas itu sebenarnya bukanlah aktifitas cinta, sebab yang terjadi adalah kencan dan bersenang-senang. Sama sekali tidak ada ikatan formal yang resmi dan diakui. Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab antara mereka. Bahkan tidak ada kepastian tentang kesetiaan dan seterusnya.
Padahal cinta itu adalah memiliki, tanggung-jawab, ikatan syah dan sebuah harga kesetiaan. Dalam format pacaran, semua instrumen itu tidak terdapat, sehingga jelas sekali bahwa pacaran itu sangat berbeda dengan cinta.
d. Pacaran Bukanlah Penjajakan / Perkenalan
Bahkan kalau pun pacaran itu dianggap sebagai sarana untuk saling melakukan penjajakan, atau perkenalan atau mencari titik temu antara kedua calon suami istri, bukanlah anggapan yang benar. Sebab penjajagan itu tidak adil dan kurang memberikan gambaran sesungguhnya atas data yang diperlukan dalam sebuah persiapan pernikahan.
Dalam format mencari pasangan hidup, Islam telah memberikan panduan yang jelas tentang apa saja yang perlu diperhitungkan. Misalnya sabda Rasulullah SAW tentang 4 kriteria yang terkenal itu.
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW berdabda,`Wanita itu dinikahi karena 4 hal : [1] hartanya, [2] keturunannya, [3] kecantikannya dan [4] agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat. (HR. Bukhari Kitabun Nikah Bab Al-Akfa` fiddin nomor 4700, Muslim Kitabur-Radha` Bab Istihbabu Nikah zatid-diin nomor 2661)
Selain keempat kriteria itu, Islam membenarkan bila ketika seorang memilih pasangan hidup untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang tidak mungkin diceritakan langsung oleh yang bersangkutan. Maka dalam masalah ini, peran orang tua atau pihak keluarga menjadi sangat penting.
Inilah proses yang dikenal dalam Islam sebagai ta`aruf. Jauh lebih bermanfaat dan objektif ketimbang kencan berduaan. Sebab kecenderungan pasangan yang sedang kencan adalah menampilkan sisi-sisi terbaiknya saja. Terbukti dengan mereka mengenakan pakaian yang terbaik, bermake-up, berparfum dan mencari tempat-tempat yang indah dalam kencan. Padahal nantinya dalam berumah tangga tidak lagi demikian kondisinya.
Istri tidak selalu dalam kondisi bermake-up, tidak setiap saat berbusana terbaik dan juga lebih sering bertemu dengan suaminya dalam keadaan tanpa parfum dan acak-acakan. Bahkan rumah yang mereka tempati itu bukanlah tempat-tempat indah mereka dulu kunjungi sebelumnya. Setelah menikah mereka akan menjalani hari-hari biasa yang kondisinya jauh dari suasana romantis saat pacaran.
Maka kesan indah saat pacaran itu tidak akan ada terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, pacaran bukanlah sebuah penjajakan yang jujur, sebaliknya bisa dikatakan sebuah penyesatan dan pengelabuhan.
Dan tidak heran bila kita dapati pasangan yang cukup lama berpacaran, namun segera mengurus perceraian belum lama setelah pernikahan terjadi. Padahal mereka pacaran bertahun-tahun dan membina rumah tangga dalam hitungan hari. Pacaran bukanlah perkenalan melainkan ajang kencan saja.
by samsul bahri ben marzuki
Istilah pacaran itu sebenarnya bukan bahasa hukum, karena pengertian dan batasannya tidak sama buat setiap orang. Dan sangat mungkin berbeda dalam setiap budaya. Karena itu kami tidak akan menggunakan istilah `pacaran` dalam masalah ini, agar tidak salah konotasi.
I. Tujuan Pacaran
Ada beragam tujuan orang berpacaran. Ada yang sekedar iseng, atau mencari teman bicara, atau lebih jauh untuk tempat mencurahkan isi hati. Dan bahkan ada juga yang memang menjadikan masa pacaran sebagai masa perkenalan dan penjajakan dalam menempuh jenjang pernikahan.
Namun tidak semua bentuk pacaran itu bertujuan kepada jenjang pernikahan. Banyak diantara pemuda dan pemudi yang lebih terdorong oleh rasa ketertarikan semata, sebab dari sisi kedewasaan, usia, kemampuan finansial dan persiapan lainnya dalam membentuk rumah tangga, mereka sangat belum siap.
Secara lebih khusus, ada yang menganggap bahwa masa pacaran itu sebagai masa penjajakan, media perkenalan sisi yang lebih dalam serta mencari kecocokan antar keduanya. Semua itu dilakukan karena nantinya mereka akan membentuk rumah tangga. Dengan tujuan itu, sebagian norma di tengah masyarakat membolehkan pacaran. Paling tidak dengan cara membiarkan pasangan yang sedang pacaran itu melakukan aktifitasnya. Maka istilah apel malam minggu menjadi fenomena yang wajar dan dianggap sebagai bagian dari aktifitas yang normal.
II. Apa Yang Dilakukan Saat Pacaran ?
Lepas dari tujuan, secara umum pada saat berpacaran banyak terjadi hal-hal yang diluar dugaan. Bahkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa aktifitas pacaran pelajar dan mahasiswa sekarang ini cenderung sampai kepada level yang sangat jauh. Bukan sekedar kencan, jalan-jalan dan berduaan, tetapi data menunjukkan bahwa ciuman, rabaan anggota tubuh dan bersetubuh secara langsung sudah merupakan hal yang biasa terjadi.
Sehingga kita juga sering mendengar istilah “chek-in”, yang awalnya adalah istilah dalam dunia perhotelan untuk menginap. Namun tidak sedikit hotel yang pada hari ini berali berfungsi sebagai tempat untuk berzina pasangan pelajar dan mahasiswa, juga pasanga-pasangan tidak syah lainnya. Bahkan hal ini sudah menjadi bagian dari lahan pemasukan tersendiri buat beberapa hotel dengan memberi kesempatan chek-in secara short time, yaitu kamar yang disewakan secara jam-jaman untuk ruangan berzina bagi para pasangan di luar nikah.
Pihak pengelola hotel sama sekali tidak mempedulikan apakah pasangan yang melakukan chek-in itu suami istri atau bulan, sebab hal itu dianggap sebagai hak asasi setiap orang.
Selain di hotel, aktifitas percumbuan dan hubungan seksual di luar nikah juga sering dilakukan di dalam rumah sendiri, yaitu memanfaatkan kesibukan kedua orang tua. Maka para pelajar dan mahasiswa bisa lebih bebas melakukan hubungan seksual di luar nikah di dalam rumah mereka sendiri tanpa kecurigaan, pengawasan dan perhatian dari anggota keluarga lainnya.
Data menunjukkan bahwa seks di luar nikah itu sudah dilakukan bukan hanya oleh pasangan mahasiswa dan orang dewasa, namun anak-anak pelajar menengah atas (SLTA) dan menengah pertama (SLTP) juga terbiasa melakukannya. Pola budaya yang permisif (serba boleh) telah menjadikan hubungan pacaran sebagai legalisasi kesempatan berzina. Dan terbukti dengan maraknya kasus `hamil di luar nikah` dan aborsi ilegal.
Fakta dan data lebih jujur berbicara kepada kita ketimbang apologi. Maka jelaslah bahwa praktek pacaran pelajar dan mahasiswa sangat rentan dengan perilaku zina yang oleh sistem hukum di negeri ini sama sekali tidak dilarang. Sebab buat sistem hukum sekuluer warisan penjajah, zina adalah hak asasi yang harus dilindungi. Sepasang pelajar atau mahasiswa yang berzina, tidak bisa dituntut secara hukum. Bahkan bila seks bebas itu menghasilkan hukuman dari Allah berupa AIDS, para pelakunya justru akan diberi simpati.
III. Pacaran Dalam Pandangan Islam
a. Islam Mengakui Rasa Cinta
Islam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa. Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya.
`Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik .`(QS. Ali Imran :14).
Khusus kepada wanita, Islam menganjurkan untuk mewujudkan rasa cinta itu dengan perlakuan yang baik, bijaksana, jujur, ramah dan yang paling penting dari semua itu adalah penuh dengan tanggung-jawab. Sehingga bila seseorang mencintai wanita, maka menjadi kewajibannya untuk memperlakukannya dengan cara yang paling baik.
Rasulullah SAW bersabda,`Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap pasangannya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap istriku`.
b. Cinta Kepada Lain Jenis Hanya Ada Dalam Wujud Ikatan Formal
Namun dalam konsep Islam, cinta kepada lain jenis itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas. Sebelum adanya ikatan itu, maka pada hakikatnya bukan sebuah cinta, melainkan nafsu syahwat dan ketertarikan sesaat.
Sebab cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan sejenisnya. Tapi cinta sejati haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan tanggung-jawab yang disaksikan oleh orang banyak.
Bahkan lebih `keren`nya, ucapan janji itu tidaklah ditujukan kepada pasangan, melainkan kepada ayah kandung wanita itu. Maka seorang laki-laki yang bertanggung-jawab akan berikrar dan melakukan ikatan untuk menjadikan wanita itu sebagai orang yang menjadi pendamping hidupnya, mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya dan menjadi `pelindung` dan `pengayomnya`. Bahkan `mengambil alih` kepemimpinannya dari bahu sang ayah ke atas bahunya.
Dengan ikatan itu, jadilah seorang laki-laki itu `laki-laki sejati`. Karena dia telah menjadi suami dari seorang wanita. Dan hanya ikatan inilah yang bisa memastikan apakah seorang laki-laki itu betul serorang gentlemen atau sekedar kelas laki-laki iseng tanpa nyali. Beraninya hanya menikmati sensasi seksual, tapi tidak siap menjadi “the real man”.
Dalam Islam, hanya hubungan suami istri sajalah yang membolehkan terjadinya kontak-kontak yang mengarah kepada birahi. Baik itu sentuhan, pegangan, cium dan juga seks. Sedangkan di luar nikah, Islam tidak pernah membenarkan semua itu. Akhlaq ini sebenarnya bukan hanya monopoli agama Islam saja, tapi hampir semua agama mengharamkan perzinaan. Apalagi agama Kristen yang dulunya adalah agama Islam juga, namun karena terjadi penyimpangan besar sampai masalah sendi yang paling pokok, akhirnya tidak pernah terdengar kejelasan agama ini mengharamkan zina dan perbuatan yang menyerampet kesana.
Sedangkan pemandangan yang kita lihat dimana ada orang Islam yang melakukan praktek pacaran dengan pegang-pegangan, ini menunjukkan bahwa umumnya manusia memang telah terlalu jauh dari agama. Karena praktek itu bukan hanya terjadi pada masyarakat Islam yang nota bene masih sangat kental dengan keaslian agamanya, tapi masyakat dunia ini memang benar-benar telah dilanda degradasi agama.
Barat yang mayoritas nasrani justru merupakan sumber dari hedonisme dan permisifisme ini. Sehingga kalau pemandangan buruk itu terjadi juga pada sebagian pemuda-pemudi Islam, tentu kita tidak melihat dari satu sudut pandang saja. Tapi lihatlah bahwa kemerosotan moral ini juga terjadi pada agama lain, bahkan justru lebih parah.
c. Pacaran Bukan Cinta
Melihat kecenderungan aktifitas pasangan muda yang berpacaran, sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa pacaran itu adalah media untuk saling mencinta satu sama lain. Sebab sebuah cinta sejati tidak berbentuk sebuah perkenalan singkat, misalnya dengan bertemu di suatu kesempatan tertentu lalu saling bertelepon, tukar menukar SMS, chatting dan diteruskan dengan janji bertemu langsung.
Semua bentuk aktifitas itu sebenarnya bukanlah aktifitas cinta, sebab yang terjadi adalah kencan dan bersenang-senang. Sama sekali tidak ada ikatan formal yang resmi dan diakui. Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab antara mereka. Bahkan tidak ada kepastian tentang kesetiaan dan seterusnya.
Padahal cinta itu adalah memiliki, tanggung-jawab, ikatan syah dan sebuah harga kesetiaan. Dalam format pacaran, semua instrumen itu tidak terdapat, sehingga jelas sekali bahwa pacaran itu sangat berbeda dengan cinta.
d. Pacaran Bukanlah Penjajakan / Perkenalan
Bahkan kalau pun pacaran itu dianggap sebagai sarana untuk saling melakukan penjajakan, atau perkenalan atau mencari titik temu antara kedua calon suami istri, bukanlah anggapan yang benar. Sebab penjajagan itu tidak adil dan kurang memberikan gambaran sesungguhnya atas data yang diperlukan dalam sebuah persiapan pernikahan.
Dalam format mencari pasangan hidup, Islam telah memberikan panduan yang jelas tentang apa saja yang perlu diperhitungkan. Misalnya sabda Rasulullah SAW tentang 4 kriteria yang terkenal itu.
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW berdabda,`Wanita itu dinikahi karena 4 hal : [1] hartanya, [2] keturunannya, [3] kecantikannya dan [4] agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat. (HR. Bukhari Kitabun Nikah Bab Al-Akfa` fiddin nomor 4700, Muslim Kitabur-Radha` Bab Istihbabu Nikah zatid-diin nomor 2661)
Selain keempat kriteria itu, Islam membenarkan bila ketika seorang memilih pasangan hidup untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang tidak mungkin diceritakan langsung oleh yang bersangkutan. Maka dalam masalah ini, peran orang tua atau pihak keluarga menjadi sangat penting.
Inilah proses yang dikenal dalam Islam sebagai ta`aruf. Jauh lebih bermanfaat dan objektif ketimbang kencan berduaan. Sebab kecenderungan pasangan yang sedang kencan adalah menampilkan sisi-sisi terbaiknya saja. Terbukti dengan mereka mengenakan pakaian yang terbaik, bermake-up, berparfum dan mencari tempat-tempat yang indah dalam kencan. Padahal nantinya dalam berumah tangga tidak lagi demikian kondisinya.
Istri tidak selalu dalam kondisi bermake-up, tidak setiap saat berbusana terbaik dan juga lebih sering bertemu dengan suaminya dalam keadaan tanpa parfum dan acak-acakan. Bahkan rumah yang mereka tempati itu bukanlah tempat-tempat indah mereka dulu kunjungi sebelumnya. Setelah menikah mereka akan menjalani hari-hari biasa yang kondisinya jauh dari suasana romantis saat pacaran.
Maka kesan indah saat pacaran itu tidak akan ada terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, pacaran bukanlah sebuah penjajakan yang jujur, sebaliknya bisa dikatakan sebuah penyesatan dan pengelabuhan.
Dan tidak heran bila kita dapati pasangan yang cukup lama berpacaran, namun segera mengurus perceraian belum lama setelah pernikahan terjadi. Padahal mereka pacaran bertahun-tahun dan membina rumah tangga dalam hitungan hari. Pacaran bukanlah perkenalan melainkan ajang kencan saja.
by samsul bahri ben marzuki
Langganan:
Postingan (Atom)