Rabu, 14 Maret 2012

belajar tuntas


I.  PENDAHULUAN




A.    Latar Belakang

Salah satu di antara masalah besar dalam bidang pendidikan di Indonesia yang banyak diperbincangkan adalah rendahnya mutu pendidikan yang tercermin dari rendahnya rata-rata prestasi belajar, khususnya peserta didik Sekolah Menengah Atas (SMA). Masalah lain adalah bahwa pendekatan dalam pembelajaran masih terlalu didominasi peran guru (teacher centered). Guru lebih banyak menempatkan peserta didik sebagai objek dan bukan sebagai subjek didik. Pendidikan kita kurang memberikan kesempatan kepada peserta didik dalam berbagai mata pelajaran, untuk mengembangkan kemampuan berpikir holistik (menyeluruh), kreatif, objektif, dan logis, belum memanfaatkan quantum learning sebagai salah satu paradigma menarik dalam pembelajaran, serta kurang memperhatikan ketuntasan belajar secara individual.

Demikian juga proses pendidikan dalam sistem persekolahan kita, umumnya belum menerapkan pembelajaran sampai peserta didik menguasai materi pembelajaran secara tuntas. Akibatnya, banyak peserta didik yang tidak menguasai materi pembelajaran meskipun sudah dinyatakan tamat dari sekolah. Tidak heran kalau mutu pendidikan secara nasional masih rendah.

Penerapan Standar Isi yang berbasis pendekatan kompetensi sebagai upaya perbaikan kondisi pendidikan di tanah air ini memiliki beberapa alasan, di antaranya: 

1.    potensi peserta didik berbeda-beda, dan potensi tersebut akan  berkembang jika stimulusnya tepat;
2.    mutu hasil pendidikan yang masih rendah serta mengabaikan aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti, seni & olah raga, serta kecakapan hidup (life skill);
3.    persaingan global yang memungkinkan hanya mereka yang mampu akan berhasil;
4.    persaingan kemampuan SDM (Sumber Daya Manusia) produk lembaga pendidikan;
5.    persaingan yang terjadi pada lembaga pendidikan, sehingga perlu rumusan yang jelas mengenai standar kompetensi lulusan.

Upaya-upaya dalam rangka perbaikan dan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi meliputi: kewenangan pengembangan, pendekatan pembelajaran, penataan isi/konten, serta model sosialisasi, lebih disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi serta era yang terjadi saat ini. Pendekatan pembelajaran diarahkan pada upaya mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengelola perolehan belajar (kompetensi) yang paling sesuai dengan kondisi masing-masing. Dengan demikian proses pembelajaran lebih mengacu kepada bagaimana peserta didik belajar dan bukan lagi pada apa yang dipelajari.

Sesuai dengan cita-cita dari tujuan pendidikan nasional, guru perlu memiliki beberapa prinsip mengajar yang mengacu pada peningkatan kemampuan internal peserta didik di dalam merancang strategi dan melaksanakan pembelajaran. Peningkatan potensi internal itu misalnya dengan menerapkan jenis-jenis strategi pembelajaran yang memungkinkan  peserta didik mampu mencapai kompetensi secara penuh, utuh dan kontekstual.

Berbicara tentang rendahnya daya serap atau prestasi belajar, atau belum terwujudnya keterampilan proses dan pembelajaran yang menekankan pada peran aktif peserta didik, inti persoalannya adalah pada masalah "ketuntasan belajar" yakni pencapaian taraf penguasaan minimal yang ditetapkan bagi setiap kompetensi secara perorangan. Masalah ketuntasan belajar merupakan masalah yang penting, sebab menyangkut masa depan peserta didik, terutama mereka yang mengalami kesulitan belajar.

Pendekatan pembelajaran tuntas adalah salah satu usaha dalam pendidikan yang bertujuan untuk memotivasi peserta didik mencapai penguasaan (mastery level) terhadap kompetensi tertentu. Dengan menempatkan pembelajaran tuntas (mastery learning) sebagai salah satu prinsip utama dalam mendukung pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi, berarti pembelajaran tuntas merupakan sesuatu yang harus dipahami dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh seluruh warga sekolah. Untuk itu perlu adanya panduan yang memberikan arah serta petunjuk bagi guru dan warga sekolah tentang bagaimana pembelajaran tuntas seharusnya dilaksanakan.


B.    Tujuan

Panduan ini bertujuan untuk
1.        memberikan kesamaan pemahaman mengenai pembelajaran tuntas (mastery learning);
2.        memberikan alternatif penyelenggaraan pembelajaran tuntas yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan dan pendidik sesuai dengan mata pelajaran dan karakteristik peserta didik.


C.    Ruang Lingkup

Panduan ini membahas tentang hakikat belajar dan mengajar, pembelajaran,  pembelajaran tuntas dan pelaksanaannya.






II.  BELAJAR DAN MENGAJAR



A.   Belajar

Belajar pada hakikatnya adalah suatu aktivitas yang mengharapkan perubahan tingkah laku (behavioral change) pada individu yang belajar. Perubahan tingkah laku tersebut terjadi karena usaha individu yang bersangkutan. Belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti: bahan yang dipelajari, faktor instrumental, lingkungan, dan kondisi individual si pembelajar. Faktor-faktor tersebut diatur sedemikian rupa, sehingga  berpengaruh membantu tercapainya kompetensi secara optimal.

Proses belajar merupakan proses yang komplek dan senantiasa berlangsung dalam berbagai situasi dan kondisi. Percival dan Ellington (1984) menggambarkan model sistem pendidikan dalam proses belajar yang berbentuk kotak hitam (black box). Masukan (input) untuk sistem pendidikan atau sistem belajar terdiri dari orang, informasi, dan sumber lainnya. Keluaran (output) terdiri dari orang/peserta didik dengan penampilan yang lebih maju dalam berbagai aspek. Di antara masukan dan keluaran terdapat “black box" yang berupa proses belajar atau pendidikan.

Pada  dasarnya,  belajar merupakan masalah  bagi setiap  orang. Dengan belajar maka  pengetahuan,  keterampilan,  kebiasaan, nilai, sikap, tingkah laku dan semua perbuatan manusia terben­tuk, disesuaikan dan dikembangkan. Dari berbagai pandangan para  ahli yang  mencoba memberikan definisi belajar dapat diambil kesimpulan  bahwa belajar selalu melibatkan  tiga  hal  pokok yaitu adanya perubahan tingkah laku, sifat perubahan yang rela­tif  permanen, dan perubahan yang  disebabkan oleh interaksi  dengan lingkungan, bukan  oleh  proses kedewasaan ataupun perubahan-perubahan kondisi fisik yang temporer sifat­nya. Jadi pada prinsipnya belajar adalah  proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi  antara peserta didik dengan sumber-sumber atau objek belajar, baik yang  secara sengaja dirancang (by design) maupun  yang tidak secara sengaja dirancang namun dimanfaatkan (by utilization). Proses belajar tidak hanya terjadi karena adanya interaksi antara peserta didik dengan guru. Hasil  bela­jar yang maksimal dapat pula diperoleh lewat interaksi  antara peserta didik dengan sumber-sumber belajar lainnya.

Aktivitas belajar sangat berkaitan dengan fungsi otak  manusia. Sebagai organisme hidup, manusia merupakan suatu organisasi biologik yang dalam ujud strukturalnya terjadi secara genetik. Dalam perkembangan dan cara berfungsinya, otak manusia sangat dipengaruhi oleh hasil interaksinya dengan objek belajar atau lingkungan. Konsekuensi dari berfungsinya organisasi biologik itu adalah inteligensi (kecerdasan) yang bersumber dari otak manusia. Meskipun  pada waktu anak manusia dilahirkan ia tidak memiliki  ide atau konsep,  namun konstitusinya memungkinkan untuk bereaksi terhadap lingkungan melalui saluran pengalaman yang  dibawa sejak lahir (Conny Semia­wan,  1988). Pada tahap awal perkembangan otak peserta didik, reaksi-reaksi berjalan secara refleks, namun selanjutnya akan menjadi suatu organisasi mental yang semakin mantap dan terstruktur.

Belahan otak manusia terbagi menjadi dua, kiri dan kanan. Tugas, fungsi dan ciri setiap belahan otak adalah khusus  dan membuat reaksi secara  berbeda terhadap berbagai jenis pengalaman belajar. Keterlibatan otak sebelah kanan lebih tertuju pada variabel keseluruhan, holistik (utuh), imaginatif, sedangkan  belahan otak sebelah kiri lebih berfungsi untuk mengembangkan berfikir rasional, linear dan teratur. Emosi, terletak dalam ke dua belahan otak dan memberi warna  tertentu terhadap kejadian belajar yang dialami oleh seseorang. Bila keseimbangan berfungsinya kondisi otak terjaga, dengan melibatkan emosi, maka terjadilah belajar kreatif.

Untuk memberikan landasan akademik/filosofis terhadap pelaksanaan pembelajaran khususnya pada jenjang SMA, maka perlu dikemukakan sejumlah pandangan dari para ahli pendidikan dan pembelajaran. Ada tiga pakar pendidikan yang teori serta pandangannya bisa digunakan sebagai acuan dalam mengembangkan dan mengimplementasikan kurikulum berbasis kompetensi, yaitu John Dewey, Vygotsky, dan Ausubel.

Menurut Dewey (2001), tugas sekolah adalah memberi  pengalaman belajar yang tepat bagi peserta didik. Selanjutnya ditegaskan bahwa tugas guru adalah membantu peserta didik menjalin pengalaman belajar yang satu dengan yang lain, termasuk yang baru dengan yang lama. Pengalaman belajar yang baru melalui pengalaman belajar yang lama akan melekat pada struktur kognitif peserta didik dan menjadi pengetahuan baru bagi peserta didik. 

Menurut Vygotsky  (2001), terdapat hubungan yang erat antara pengalaman sehari-hari dengan konsep keilmuan (scientific), tetapi ada perbedaan secara kualitatif antara berpikir kompleks dan berpikir konseptual. Berpikir kompleks didasarkan atas kategorisasi objek berdasarkan suatu situasi, sedangkan berpikir konseptual berbasis pada pengertian yang lebih abstrak. Ia menegaskan bahwa pengembangan kemampuan menganalisis, membuat hipotesis, dan menguji pengalaman pada dasarnya terpisah dari pengalaman sehari-hari. Kemampuan ini tidak ditentukan oleh  pengalaman sehari-hari, tetapi lebih tergantung pada tipe spesifik interaksi sosial. 

Menurut Ausubel (1969), pengalaman belajar baru akan masuk ke dalam memori jangka panjang dan akan menjadi pengetahuan baru apabila memiliki makna. Pengalaman belajar adalah interakasi antara subjek belajar dengan objek belajar, misalnya peserta didik mengerjakan tugas membaca, melakukan pemecahan masalah, mengamati suatu gejala, peristiwa,  percobaan, dan sejenisnya. Agar pengalaman belajar yang baru menjadi pengetahuan baru, semua konsep dalam matapelajaran diusahakan memiliki nilai terapan di lapangan.

B.   Mengajar

      Joyce, Weil & Showers (1992) menyatakan bahwa mengajar (teaching) pada hakikatnya adalah membantu peserta didik memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk mengekspresikan diri, dan cara-cara belajar bagaimana belajar. Hasil akhir atau hasil jangka panjang dari proses mengajar adalah kemampuan peserta didik yang tinggi untuk dapat belajar dengan mudah dan efektif. Tujuan utama dari kegiatan mengajar adalah pada peserta didik yang belajar. Dengan demikian hakikat mengajar adalah memfasilitasi peserta didik agar mereka mendapatkan kemudahan dalam belajar.

III.  PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPETENSI


A.   Pengertian Pembelajaran

Istilah  pembelajaran merupakan padanan dari kata dalam bahasa Inggris instruction, yang berarti  proses  membuat orang  belajar. Tujuannya ialah membantu orang  belajar, atau memanipulasi (merekayasa) lingkungan sehingga memberi kemudahan bagi orang yang belajar. Gagne dan Briggs (1979) mendefinisikan pembela­jaran sebagai suatu rangkaian events (kejadian, peristiwa, kondisi, dsb.) yang secara sengaja dirancang untuk mempenga­ruhi peserta didik (pembelajar), sehingga proses  belajarnya dapat berlangsung dengan mudah. Pembelajaran bukan hanya terbatas pada peristiwa yang dilakukan oleh guru saja, melainkan mencakup  semua peristiwa yang mempunyai pengaruh langsung pada proses belajar manusia. Pembelajaran mencakup pula kejadian-kejadian yang dimuat dalam bahan-bahan cetak, gambar, program radio, televisi, film, slide, maupun kombinasi dari  bahan-bahan  tersebut.

Berbagai perangkat elektronik, yang berupa program-program komputer dimanfaatkan untuk pembelajaran, yang dikenal dengan e-learning (electronic-learning) seperti: CAI (Computer Assisted Instruction) atau CAL (Computer Assisted Learning), belajar lewat internet, SIG (Sistem Informasi Geografis) pendidikan, web-site sekolah, dll. Dengan demikian, sesuai dengan perkembangan di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), fungsi pembelajaran bukan hanya  fungsi  guru, melainkan juga fungsi pemanfaatan sumber-sumber  belajar  lain yang digunakan oleh pembelajar untuk belajar sendiri.

B.   Prinsip Umum Pembelajaran

Teknologi pembelajaran dibangun atas dasar prinsip-prinsip yang diambil dari teori psikologi, terutama teori belajar dan hasil-hasil penelitian dalam kegiatan pembelajaran. Atwi Suparman (1997) yang mengutip pendapat Filbeck mengelompokkan prinsip-prinsip yang digunakan dalam pembelajaran menjadi 12 macam, yaitu:

1.   Respon yang berakibat menyenangkan pembelajar
Implikasi:
a.   Perlunya umpan balik positif dengan segera
b.   keharusan pembelajar untuk aktif membuat respons
c.   perlunya pemberian latihan (exercise) dan tes

2.   Kondisi atau tanda untuk menciptakan perilaku tertentu
Implikasi:
a.   perlunya kejelasan mengenai standar kompetensi maupun kompetensi dasar.
b.   penggunaan variasi metode dan media
3.   Pembelajaran yang menyenangkan
Implikasi:
a.   pemberian isi/materi pembelajaran yang berguna
b.   imbalan dan penghargaan terhadap keberhasilan peserta didik
c.   seringnya pemberian latihan dan tes

4.   Pembelajaran kontekstual
Implikasi:
a.   pemberian kegiatan belajar yang mirip dengan kondisi yang sesungguhnya
b.   pemberian contoh-contoh riel/nyata
c.   penggunaan metode dan media

5.   Generalisasi dan pembedaan sebagai dasar untuk belajar sesuatu yang kompleks
Implikasi:
perlunya keseimbangan dalam memberikan contoh (baik-buruk, positif-negatif, ganjil-genap, konkrit-abstrak, dsb.)

6.   Pengaruh status mental terhadap perhatian dan ketekunan
Implikasi:
perlunya menarik/memusatkan perhatian pembelajar

7.   Membagi kegiatan ke dalam langkah-langkah kecil
Implikasi:
a.   Penggunaan buku teks terprogram (programmed texts atau programmed instructions)
b.   Pemenggalan kegiatan menjadi kecil-kecil, disertai latihan dan umpan balik

8.   Pemodelan bagi materi yang kompleks
Implikasi:
penggunaan metode dan media yang dapat menggambarkan model (simplifikasi) dari benda/kegiatan nyata.

9.   Keterampilan tingkat tinggi terbentuk dari keterampilan-keterampilan dasar
Implikasi:
Standar kompetensi maupun kompetensi dasar hendaknya dirumuskan seoperasional mungkin dan diturunkan/dijabarkan melalui analisis instruksional.

10.  Pemberian informasi tentang perkembangan kemampuan pembelajar
Implikasi:
a.   urutan pembelajaran dimulai dari yang sederhana bertahap menuju ke yang makin kompleks
b.   kemajuan harus diinformasikan

11.  Variasi dalam kecepatan belajar
Implikasi:
a.   pentingnya penguasaan materi prasyarat
b.   kesempatan untuk maju menurut kecepatan masing-masing

12.  Persiapan/kesiapan
Implikasi:
pemberian kebebasan kepada pembelajar untuk memilih waktu, cara dan sumber belajar lain.



C.   Ciri-ciri Kurikulum Berbasis Kompetensi

Sebagai sebuah konsep, sekaligus sebagai sebuah program, kurikulum berbasis kompetensi (KBK) menurut  Siskandar (2003) memiliki ciri-ciri:

1.   menekankan pada ketercapaian kompetensi peserta didik baik secara individual maupun klasikal;
2.   berorientasi pada hasil dan keberagaman;
3.   penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi;
4.   sumber belajar bukan hanya guru tetapi  sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif;
5.   penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan suatu kompetensi.

Salah satu pendekatan dalam pembelajaran berbasis kompetensi adalah menempatkan peserta didik sebagai subjek didik, yakni lebih banyak mengikutsertakan peserta didik dalam proses pembelajaran. Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa peserta didik memiliki potensi untuk berpikir sendiri dan potensi tersebut hanya dapat diwujudkan apabila mereka diberi banyak kesempatan untuk berpikir sendiri.  Oleh karena itu guru tidak boleh lagi dipandang sebagai "orang yang paling tahu segalanya”, melainkan lebih berperan sebagai fasilitator terjadinya proses belajar pada individu peserta didik. Peserta didik tentunya juga harus secara terus menerus berusaha menyempurnakan diri sehingga meningkat kemampuannya.

Pemilihan metode pembelajaran yang memberi peluang kepada peserta didik untuk aktif dan kreatif dalam kegiatan pembelajaran, merupakan langkah awal yang utama menuju keberhasilan mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Di samping itu mengingat bahwa penilaian dalam KBK menekankan baik proses maupun hasil belajar, maka keterampilan proses perlu betul-betul digiatkan penerapannya dalam kegiatan pembelajaran di sekolah.

Kemampuan atau keterampilan proses yang mendasar untuk pembelajaran berbasis kompetensi antara lain adalah kemampuan atau keterampilan dalam:
1.   mengobservasi/mengadakan pengamatan
2.   menghitung
3.   mengukur
4.   mengklasifikasi
5.   mencari hubungan ruang/waktu
6.   membuat hipotesis
7.   merencanakan penelitian/eksperimen
8.   mengendalikan variabel
9.   menginterpretasi atau menafsirkan data
10.  menyusun kesimpulan sementara (inferensi)
11.  meramalkan (memprediksi)
12.  menerapkan (mengaplikasi)
13.  mengkomunikasikan

Berdasarkan uraian di atas maka pendekatan dalam pengembangan  pembelajaran berbasis kompetensi harus dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut:

1.   Orientasi pada pencapaian hasil (outcome oriented)
2.   Bertolak dari Kompetensi Lulusan
3.   Berbasis pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
4.   Pengembangan pembelajaran menghargai perbedaan-perbedaan (berdiferensiasi)
5.   Utuh dan menyeluruh (holistik)
6.   Menerapkan prinsip ketuntasan belajar (mastery learning)



IV.  PEMBELAJARAN TUNTAS (MASTERY-LEARNING)


A.   Asumsi Dasar

Metode pembelajaran adalah cara untuk mempermudah peserta didik mencapai kompetensi tertentu. Hal ini berlaku baik bagi guru (dalam pemilihan metode mengajar) maupun bagi peserta didik (dalam memilih strategi belajar). Dengan demikian makin baik metode, akan makin efektif pula pencapaian tujuan belajar (Winarno Surahmad, 1982). Langkah metode pembelajaran yang dipilih memainkan peranan utama, yang berakhir pada semakin meningkatnya prestasi belajar peserta didik.

Pembelajaran tuntas (mastery learning) dalam proses pembelajaran berbasis kompetensi dimaksudkan adalah pendekatan dalam pembelajaran yang mempersyaratkan  peserta didik menguasai secara tuntas seluruh standar kompetensi maupun kompetensi dasar mata pelajaran tertentu. Dalam model yang paling sederhana, dikemukakan bahwa jika setiap peserta didik diberikan waktu sesuai dengan yang diperlukan untuk mencapai suatu tingkat penguasaan, dan jika dia menghabiskan waktu yang diperlukan, maka besar kemungkinan peserta didik akan mencapai tingkat penguasaan kompetensi. Tetapi jika peserta didik tidak diberi cukup waktu atau dia tidak dapat menggunakan waktu yang diperlukan secara penuh, maka tingkat penguasaan kompetensi peserta didik tersebut belum optimal. Block (1971) menyatakan tingkat penguasaan kompetensi peserta didik sebagai berikut :

                                   


Model ini menggambarkan bahwa tingkat penguasaan kompetensi (degree of learning) ditentukan oleh seberapa banyak waktu yang benar-benar digunakan (time actually spent) untuk belajar dibagi dengan waktu yang diperlukan (time needed) untuk menguasai kompetensi tertentu.

Dalam pembelajaran konvensional, bakat (aptitude) peserta didik tersebar secara normal. Jika kepada mereka diberikan pembelajaran yang sama dalam jumlah pembelajaran dan waktu yang tersedia untuk belajar, maka hasil belajar yang dicapai akan tersebar secara normal pula. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan antara bakat dan tingkat penguasaan adalah tinggi. Secara skematis konsep tentang prestasi belajar sebagai dampak pembelajaran dengan pendekatan konvensional dapat digambarkan sebagai berikut :
Sebaliknya, apabila bakat peserta didik tersebar secara normal, dan kepada mereka diberi kesempatan belajar yang sama untuk setiap peserta didik, tetapi diberikan perlakuan yang berbeda dalam kualitas pembelajarannya, maka besar kemungkinan bahwa peserta didik yang dapat mencapai penguasaan akan bertambah banyak. Dalam hal ini hubungan antara bakat dengan keberhasilan akan menjadi semakin kecil.
Secara skematis konsep prestasi belajar sebagai dampak pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran tuntas, dapat digambarkan sebagai berikut :


Dari konsep-konsep di atas, kiranya cukup jelas bahwa harapan dari proses pembelajaran dengan pendekatan belajar tuntas adalah untuk mempertinggi rata-rata prestasi peserta didik dalam belajar dengan memberikan kualitas pembelajaran yang lebih sesuai, bantuan, serta perhatian khusus bagi peserta didik yang lambat agar menguasai standar kompetensi atau kompetensi dasar. Dari konsep tersebut, dapat dikemukakan prinsip-prinsip utama pembelalaran tuntas adalah:

1.   Kompetensi yang harus dicapai peserta didik dirumuskan dengan urutan yang hirarkis,
2.   Evaluasi yang digunakan adalah penilaian acuan patokan, dan setiap kompetensi harus diberikan feedback,
3.   Pemberian pembelajaran remedial serta bimbingan yang diperlukan,
4.   Pemberian program pengayaan bagi peserta didik yang mencapai ketuntasan belajar lebih awal. (Gentile & Lalley: 2003)

B.   Perbedaan antara Pembelajaran Tuntas dengan Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran tuntas adalah pola pembelajaran yang menggunakan prinsip ketuntasan secara individual. Dalam hal pemberian kebebasan belajar, serta untuk mengurangi kegagalan peserta didik dalam belajar, strategi belajar tuntas menganut pendekatan individual, dalam arti meskipun kegiatan belajar ditujukan kepada sekelompok peserta didik (klasikal), tetapi mengakui dan melayani perbedaan-perbedaan perorangan peserta didik sedemikiah rupa, sehingga dengan penerapan pembelajaran tuntas memungkinkan berkembangnya potensi masing-masing peserta didik secara optimal. Dasar pemikiran dari belajar tuntas dengan pendekatan individual ialah adanya pengakuan terhadap perbedaan individual masing-masing peserta didik.
Untuk merealisasikan pengakuan dan pelayanan terhadap perbedaan individu, pembelajaran harus menggunakan strategi pembelajaran yang berasaskan maju berkelanjutan (continuous progress). Untuk itu, pendekatan sistem yang merupakan salah satu prinsip dasar dalam teknologi pembelajaran harus benar-benar dapat diimplementasikan. Salah satu caranya adalah standar kompetensi dan kompetensi dasar harus dinyatakan secara jelas, dan pembelajaran dipecah-pecah ke dalam satuan-satuan (cremental units). Peserta didik belajar selangkah demi selangkah dan  boleh mempelajari kompetensi dasar berikutnya setelah menguasai sejumlah kompetensi dasar yang ditetapkan menurut kriteria tertentu. Dalam pola ini, seorang peserta didik yang mempelajari unit satuan pembelajaran tertentu dapat berpindah ke unit satuan pembelajaran berikutnya jika peserta didik yang bersangkutan telah menguasai sekurang-kurangnya 75% dari kompetensi dasar yang  ditetapkan. Sedangkan pembelajaran konvensional dalam kaitan ini diartikan sebagai pembelajaran dalam konteks klasikal yang sudah terbiasa dilakukan, sifatnya berpusat pada guru, sehingga pelaksanaannya kurang memperhatikan keseluruhan situasi belajar (non belajar tuntas).

Dengan memperhatikan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa perbedaan antara pembelajaran tuntas dengan pembelajaran konvensional adalah bahwa pembelajaran tuntas dilakukan melalui asas-asas ketuntasan belajar, sedangkan pembelajaran konvensional pada umumnya kurang  memperhatikan ketuntasan belajar khususnya ketuntasan peserta didik secara individual. Secara kualitatif perbandingan ke dua pola tersebut dapat dicermati pada Tabel  berikut,

Tabel 1: Perbandingan Kualitatif antara Pembelajaran Tuntas dengan Pembelajaran Konvensional

Langkah
Aspek Pembeda
Pembelajaran Tuntas
Pembelajaran Konvensional
A.  Persiapan
1.  Tingkat ketuntasan
Diukur dari performance peserta didik dalam setiap unit (satuan kompetensi atau kemampuan dasar). Setiap peserta didik harus mencapai nilai 75

Diukur dari performance peserta didik yang dilakukan secara acak
2.  Satuan Acara Pembelajaran
Dibuat untuk satu minggu pembelajaran, dan dipakai sebagai pedoman guru serta diberikan kepada peserta didik
Dibuat untuk satu minggu pembelajar-an, dan hanya dipakai sebagai pedoman guru

3. Pandangan terhadap kemampuan peserta didik saat memasuki satuan pembelajaran tertentu
Kemampuan hampir sama, namun tetap ada variasi
Kemampuan peserta didik dianggap sama
B. Pelaksanaan pembelajaran
4.   Bentuk pembelajaran dalam satu unit kompetensi atau kemampuan dasar

Dilaksanakan melalui pendekatan klasikal, kelompok dan individual
Dilaksanakan sepenuhnya melalui pendekatan klasikal
5.   Cara pembelajaran dalam setiap standar kompetensi atau kompetensi dasar
Pembelajaran dilakukan melalui penjelasan guru (lecture), membaca secara mandiri dan terkontrol, berdiskusi, dan belajar secara individual

Dilakukan melalui mendengarkan (lecture), tanya jawab, dan membaca (tidak terkontrol)

6.   Orientasi pembelajaran
Pada terminal performance peserta didik (kompetensi atau kemampuan dasar) secara individual

Pada bahan pembelajaran
7.   Peranan guru
Sebagai pengelola pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan peserta didik secara individual
Sebagai pengelola pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan seluruh peserta didik dalam kelas

8.   Fokus kegiatan pembelajaran
Ditujukan kepada masing-masing peserta didik secara individual
Ditujukan kepada peserta didik dengan kemampuan menengah

9.   Penentuan keputusan mengenai satuan pembelajaran

Ditentukan oleh peserta didik dengan bantuan guru
Ditentukan sepenuhnya oleh guru
C.  Umpan Balik
10. Instrumen umpan balik
Menggunakan berbagai jenis serta bentuk tagihan secara berkelanjutan
Lebih mengandalkan pada penggunaan tes objektif untuk penggalan waktu tertentu

11. Cara membantu peserta didik
Menggunakan sistem tutor dalam diskusi kelompok (small-group learning activities) dan tutor yang dilakukan secara individual

Dilakukan oleh guru dalam bentuk tanya jawab secara klasikal


C.   Indikator Pelaksanaan Pembelajaran Tuntas

1. Metode Pembelajaran

Strategi pembelajaran tuntas sebenarnya menganut pendekatan individual, dalam arti meskipun kegiatan belajar ditujukan kepada sekelompok peserta didik (klasikal), tetapi juga mengakui dan memberikan layanan sesuai dengan perbedaan-perbedaan individual peserta didik, sehingga pembelajaran memungkinkan berkembangnya potensi masing-masing peserta didik secara optimal.

Adapun langkah-langkahnya adalah :
a.     mengidentifikasi prasyarat (prerequisite), 
b.     membuat tes untuk mengukur perkembangan dan pencapaian kompetensi,
c.      mengukur pencapaian kompetensi peserta didik.

Metode pembelajaran yang sangat ditekankan dalam pembelajaran tuntas adalah pembelajaran individual, pembelajaran dengan teman atau sejawat (peer instruction), dan bekerja dalam kelompok kecil. Berbagai jenis metode (multi metode) pembelajaran harus digunakan untuk kelas atau kelompok.

      Pembelajaran tuntas sangat mengandalkan pada pendekatan tutorial dengan sesion-sesion kelompok kecil, tutorial orang perorang, pembelajaran terprogram, buku-buku kerja, permainan dan pembelajaran berbasis komputer (Kindsvatter, 1996)




2. Peran Guru

Strategi pembelajaran tuntas menekankan pada peran atau tanggung jawab guru dalam mendorong keberhasilan peserta didik secara individual. Pendekatan yang digunakan mendekati model Personalized System of Instruction (PSI) seperti dikembangkan oleh Keller, yang lebih menekankan pada interaksi antara peserta didik dengan materi/objek belajar.

Peran guru harus intensif dalam hal-hal berikut:
a.     Menjabarkan/memecah KD (Kompetensi Dasar) ke dalam satuan-satuan (unit-unit) yang lebih kecil dengan memperhatikan pengetahuan prasyaratnya.
b.     Mengembangkan  indikator berdasarkan SK/KD. 
c.      Menyajikan materi pembelajaran dalam bentuk yang bervariasi
d.     Memonitor seluruh pekerjaan peserta didik
e.     Menilai perkembangan peserta didik dalam pencapaian kompetensi (kognitif, psikomotor, dan afektif)
f.       Menggunakan teknik diagnostik
g.      Menyediakan sejumlah alternatif strategi pembelajaran bagi peserta didik yang mengalami kesulitan

3. Peran Peserta didik

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang memiliki pendekatan berbasis kompetensi sangat menjunjung tinggi dan menempatkan peran peserta didik sebagai subjek didik. Fokus program pembelajaran bukan pada “Guru dan yang akan dikerjakannya” melainkan pada ”Peserta didik dan yang akan dikerjakannya”. Oleh karena itu, pembelajaran tuntas memungkinkan peserta didik lebih leluasa dalam menentukan jumlah waktu belajar yang diperlukan. Artinya, peserta didik diberi kebebasan dalam menetapkan  kecepatan pencapaian kompetensinya. Kemajuan peserta didik sangat bertumpu pada usaha serta ketekunannya secara individual.

4. Evaluasi

Penting untuk dicatat bahwa ketuntasan belajar dalam KTSP ditetapkan dengan penilaian acuan patokan (criterion referenced) pada setiap kompetensi dasar dan tidak ditetapkan berdasarkan norma (norm referenced). Dalam hal ini batas ketuntasan belajar harus ditetapkan oleh guru, misalnya apakah peserta didik harus mencapai nilai 75, 65, 55, atau sampai nilai berapa seorang peserta didik dinyatakatan mencapai ketuntasan dalam belajar.

Asumsi dasarnya adalah:
a.     bahwa semua orang bisa belajar apa saja, hanya waktu yang diperlukan berbeda,
b.     standar harus ditetapkan terlebih dahulu, dan hasil evaluasi adalah lulus atau tidak lulus. (Gentile & Lalley: 2003)





Sistem evaluasi menggunakan penilaian berkelanjutan, yang ciri-cirinya adalah:
a.     Ulangan dilaksanakan untuk melihat ketuntasan setiap Kompetensi Dasar
b.     Ulangan dapat dilaksanakan terdiri atas satu atau lebih Kompetensi Dasar (KD)
c.      Hasil ulangan dianalisis dan ditindaklanjuti melalui program remedial dan  program pengayaan.
d.     Ulangan mencakup aspek kognitif dan psikomotor
e.     Aspek afektif diukur melalui kegiatan inventori afektif seperti pengamatan, kuesioner, dsb.

Sistem penilaian mencakup jenis tagihan serta bentuk instrumen/soal. Dalam pembelajaran tuntas tes diusahakan disusun berdasarkan indikator sebagai alat diagnosis terhadap program pembelajaran. Dengan menggunakan tes diagnostik yang dirancang secara baik, peserta didik dimungkinkan dapat menilai sendiri hasil tesnya, termasuk mengenali di mana ia mengalami kesulitan dengan segera. Sedangkan penentuan batas pencapaian ketuntasan belajar, meskipun umumnya disepakati pada skor/nilai 75 (75%) namun batas ketuntasan yang paling realistik atau paling sesuai adalah ditetapkan oleh guru mata pelajaran, sehingga memungkinkan adanya perbedaan dalam penentuan batas ketuntasan untuk setiap KD maupun pada setiap sekolah dan atau daerah.



V.  PELAKSANAAN PROGRAM REMEDIAL DAN PENGAYAAN


Mengingat kecepatan tiap-tiap peserta didik dalam pencapaian KD tidak sama, maka dalam pembelajaran terjadi perbedaan kecepatan belajar antara peserta didik yang sangat pandai dan pandai, dengan yang kurang pandai dalam pencapaian kompetensi. Sementara pembelajaran berbasis kompetensi mengharuskan pencapaian ketuntasan dalam pencapaian kompetensi untuk seluruh kompetensi dasar secara perorangan. Implikasi dari prinsip tersebut mengharuskan dilaksanakannya program-program remedial dan pengayaan sebagai bagian tak terpisahkan dari penerapan sistem pembelajaran tuntas.

A.      Pelaksanaan Program Remedial

1. Cara yang dapat ditempuh

Masalah utama yang akan selalu timbul dalam pelaksanaan pembelajaran tuntas adalah “bagaimana guru menangani peserta didik yang lamban atau mengalami kesulitan dalam menguasai KD tertentu”.

Ada 2 cara yang dapat ditempuh yaitu:
a.     Pemberian bimbingan secara khusus dan perorangan bagi peserta didik yang belum atau mengalami kesulitan dalam penguasaan KD tertentu. Cara ini merupakan cara yang mudah dan sederhana untuk dilakukan karena merupakan implikasi dari peran guru sebagai “tutor
b.     Pemberian tugas-tugas atau perlakuan (treatment) secara khusus, yang sifatnya penyederhanaan dari pelaksanaan pembelajaran regular.

Bentuk penyederhanaan itu dapat dilakukan guru antara lain melalui:
a.   Penyederhanaan strategi pembelajaran untuk KD tertentu
b.   Penyederhanaan cara penyajian (misalnya: menggunakan gambar, model, skema, grafik, memberikan rangkuman yang sederhana, dll.)
c.   Penyederhanaan soal/pertanyaan yang diberikan.

2.   Materi dan waktu pelaksanaan program remedial

a.     Program remedial diberikan hanya pada KD atau indikator  yang belum tuntas.
b.     Program remedial dilaksanakan setelah mengikuti:
·            tes/ulangan KD tertentu
·            tes/ulangan  sejumlah KD dalam satu kesatuan


B.      Pelaksanaan Program Pengayaan

1.   Cara yang ditempuh

Kondisi yang sebaliknya dari program remedial, dalam kelas yang menerapkan pembelajaran tuntas adalah akan selalu ada peserta didik yang lebih cepat menguasai kompetensi yang ditetapkan. Peserta didik inipun tidak boleh diterlantarkan. Mereka perlu mendapatkan tambahan pengetahuan maupun keterampilan sesuai dengan kapasitasnya, melalui program pengayaan.
Cara yang dapat ditempuh di antaranya adalah:
a.     Pemberian bacaan tambahan atau berdiskusi yang bertujuan memperluas wawasan bagi KD tertentu
b.     Pemberian tugas untuk melakukan analisis gambar, model, grafik, bacaan/paragraf, dll.
c.      Memberikan soal-soal latihan tambahan yang bersifat pengayaan
d.     Membantu guru dalam membimbing teman-temannya yang belum mencapai ketuntasan.

2. Materi dan waktu pelaksanaan program pengayaan

a.     Program pengayaan diberikan sesuai dengan KD-KD atau indikator  yang dipelajari
b.     Waktu pelaksanaan program pengayaan adalah setelah mengikuti:
·            tes/ulangan KD tertentu
·            tes/ulangan kesatuan KD tertentu
·            tes/ulangan KD-KD pada akhir semester tertentu. Khusus untuk program pengayaan yang dilaksanakan pada akhir semester ini materinya hanya yang berhubungan dengan KD-KD yang terkait.  

































VI.    PENUTUP



Secara alami manusia memang diciptakan dalam keberagaman (variabilitas). Masing-masing peserta didik memiliki keterbatasan-keterbatasan sehubungan dengan kemampuan yang dimiliki, termasuk kemampuan akademik maupun minatnya. Guru hendaknya memahami bahwa perbedaan dalam kemampuan tersebut memerlukan bentuk-bentuk perlakuan yanag berbeda dalam belajar, di samping perlakuan-perlakuan yang bersifat kolektif. Jika guru menginginkan pembelajarannya berhasil membawa peserta didiknya menuju ketuntasan pencapaian kompetensi secara optimal, maka upaya-upaya memfasilitasi peserta didik dengan aneka ragam cara baik remedi maupun pengayaan mutlak harus dilakukan.

Memang berat rasanya tugas guru untuk dapat melaksanakan pembelajaran tuntas ini dengan sempurna. Namun dengan menyadari bahwa tugas seorang guru adalah tugas nan mulia, Insya Allah semua dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Awal dari sebuah pembaharuan memang terasa sulit, namun harus dimulai. Dan pada saatnya jika tugas yang dirasa berat itu sudah biasa dilakukan, tentu akan terasa ringan.

































DAFTAR PUSTAKA


Appleman, Chery I. (2004). The enrichment teacher. Los Angeles: NETA

Armstrong, D.G. & J.J. Denton (1998). Instructional skills handbook. Englewood Cliffs: Educational Technology Publications.

Atwi Suparman (2001). Desain instruksional: Program pengembangan ketrampilan dasar teknik instruksional (PEKERTI) untuk dosen muda. Jakarta: UT, PPAI-PAU.

Block, James H. (1971) Mastery learning : Theory and practice. New York : Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Boon, R. (2005) Remediation of reading, spelling, and comprehension. Sydney: Harris Park

Conny Semiawan . dkk. (1985). Pendekatan keterampilan proses, Jakarta:PT Gramedia

Gagne, Robert M. and Leslie J. Briggs. (1979). Principles of instructional design. New York: Rinehart and' Winston

Gardner. Enrichment: A guide for parents. http://www.surfaquarium.com/im.htm

Gentile, J.R. & J.P.Lalley (2003). Standards and mastery learning: Aligning teaching and assessment so al children can learn. Thousand Oaks: Corwin Press, Inc.

Joyce, Bruce, Marsha Weil, and Beverly Showers (1992). Models of teaching. Boston: Allyn and Bacon

Kindsvatter, Richard, William Wilen & Margaret Ishler (1996). Dynamics of effective teaching. New York: Longman Publishers USA

McKeachie, et.al. (1994). Teaching tips: Strategies, research, and theory for college and university teachers. Lexington: D.C. Heath and Co.

Rienties B, Martin Rehm, and Joost Dijkstra (2005). Remedial online teaching in theory and practice. Netherlands: Maastricht University Publ.

Renzulli, J. (1997). The school wide enrichment model. Northwest Journal of Education, Fall 1997,p.38.

Siskandar (2003). Teknologi pembelajaran dalam kurikulum berbasis kompetensi. Makalah disajikan pada seminar nasional teknologi pembelajaran pada tanggal 22 – 23 Agustus 2003, di Yogyakarta.

Winarno Surakhmad. (1982). Pengantar interaksi mengajar belajar: dasar dan teknik metodologi pengajaran,  Bandung : Penerbit Tarsito

Tidak ada komentar:

Posting Komentar